"Enggak juga, sih. Cuma..." Azalea berpikir sebentar, sempat terlihat ragu meski pada akhirnya dia membiarkan kata-kata itu terlontar. "Gue nggak pernah hangout sama teman gue sebelumnya. Apalagi cowok. Satu-satunya makhluk lawan jenis yang pernah jalan bareng gue hanya bokap. Dulu."

"Dulu?"

Senyum di wajah Azalea berubah pahit. "He is no longer around."

"I'm sorry to hear that." Wajah Adrian dialiri oleh perasaan simpati. "I lost my father too, a long time ago."

"It's not like what you think, Adrian." Azalea menggigit bibirnya. Sikap yang membuat Adrian mau tidak mau langsung mengerutkan dahi. Mata cowok itu tertuju pada bagaimana gestur tubuh Azalea berubah tidak nyaman dengan jari yang bergetar samar dan saling memuntir satu sama lain sesaat setelah mereka mulai membicarakan tentang sosok Ayah. "He went away with another woman."

"Oh."

Apa yang mengemuka kemudian merupakan sesuatu yang tidak Adrian sangka, apalagi inginkan. Keheningan menyeruak, menenggelamkan mereka dalam kesunyian. Meski pikiran mereka tentu tidak pernah sunyi. Entah kenapa, Azalea menyesal sudah memulai pembicaraan tentang ayahnya. Manda selalu percaya bahwa akan ada suatu masa dimana ayah mereka akan kembali, tapi tidak dengan Azalea. Dia tidak mau percaya itu. Dia tidak bisa memberikan kesempatan kedua agar lelaki itu bisa menghancurkan dirinya dengan purna. Lagi. Pria itu belum mati, tapi bagi Azalea dia sudah lama binasa.

Kesenyapan diantara mereka baru terpecah ketika minuman diantarkan. Adrian langsung meraih gelasnya, begitupun Lea. Setelah menelan satu-dua teguk, Adrian berdehem untuk mencairkan suasana.

"I'm sorry, I didn't mean to."

"Ini salah gue. I brought him up first." Azalea balik tersenyum. "Sori, gue membuat suasananya jadi jelek. Now you know why I don't have any friend."

"Gue kira gue temen lo?"

"I guess you are the first?"

"Jadi karena itu lo ngerasa baper sama gue?"

"Stop with that baper things. Baper bukan berarti gue suka lo. Maksud gue, bukan berarti juga gue nggak suka sama lo. Lebih tepatnya, bukan seperti yang akan orang lain bayangkan. You're nice. I consider you as my friend. My first friend, I'll say so. Tapi jangan harap gue bakal bertingkah seperti kebanyakan cewek-cewek di kampus yang mengejar-ngejar lo setengah mati."

"Kalau gue harus bilang, kalimat cewek-cewek di kampus yang mengejar gue setengah mati agak terlalu berlebihan."

"Lo buta apa gimana? Almost every girl in our university is crazily craving for you."

"Which is funny."

"Kenapa?"

Pembicaraan antara Adrian dan Lea terpotong ketika seorang pramusaji mendekat dengan nampan berisi hidangan di atasnya. Dengan cekatan, pramusaji tersebut menurunkan satu-persatu piring, membalas ucapan terimakasih yang Adrian lontarkan dengan senyum manis sebelum kembali melangkah riang ke balik konter. Lea berusaha keras menahan diri untuk mencebikkan bibirnya. Dia tahu Adrian memang menawan, tapi pramusaji perempuan itu bertingkah seperti seorang anak kecil yang baru mendapat hadiah sekarung gulali--ketika pada faktanya dia hanya mendapatkan satu ucapan terimakasih. Dan jika Lea perlu menambahkan, itu sangat wajar dilakukan oleh customer manapun atas dasar kesopanan.

"Pertanyaan lo tadi," Adrian seperti mengingatkan sejenak setelah dia menelan suapan pertamanya. "Gue nggak bercanda. Itu lucu. Gimana bisa cewek-cewek itu mengejar gue, mengharapkan gue punya hubungan romantis dengan mereka ketika mereka bahkan nggak tau gimana sebenernya gue dan kejelekan-kejelekan yang gue punya."

ROSE QUARTZWhere stories live. Discover now