Part 9 : Did I Care?

Magsimula sa umpisa
                                    

“Bagaimana ini? Kita pasti sudah terkunci di sini.” ucapku tanpa nada panik sama sekali. Yang ada malah nada emosi. Tidak ada tanggapan dari mereka berdua. “Hey! Bagaimana?” ucapku lagi. Dan mereka kembali bergeming. Tidak bersuara. Ada apa dengan mereka? Tidak dengar atau apa? “Justin? Zayn?” seruku. Mereka tidak menjawab lagi. Di sini sangat gelap, aku tidak bisa melihat sama sekali. Aku coba menyentuh lengan mereka masing-masing menggunakan tangan kiri dan kananku untuk memastikan mereka masih berada di sampingku atau tidak. Dan masih. Tapi.. keringat? Mereka berdua berkeringat dingin? Ada apa dengan mereka?

“Hey kalian kenapa? Bersuaralah aku tidak bisa melihat sama sekali.” ujarku. Kuambil iPhone-ku dan menyalakannya. Cahaya dari layarnya memang tak seberapa, tapi lumayan untuk penerangan. Kusorotkan cahaya itu pada wajah Justin dan Zayn secara bergantian. Ya ampun, mereka gemetar hebat! Peluh mengucur disekujur wajah mereka. “Zayn, Justin?!” Oke, aku mulai panik.

“Achluophobia.” akhirnya Justin mengucap, nada bicaranya parau.

Jadi, dia phobia gelap? Apa Zayn juga?

“Gelap sekali, aku… takut.” Zayn juga akhirnya menggumam.

Astaga! Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Satu-satunya cahaya hanya dari iPhone-ku ini saja. Sedangkan mereka berdua ketakutan seperti melihat hantu. Bingung. Bagaimana ini? Bagaimana? Berpikir, Autumn, berpikir! “Ehm-Uhm a-aku akan mencari bantuan, kalian tunggu di sini.” ujarku hendak berdiri. Namun, tanganku di pegang oleh mereka. Bukan, aku dicengkram. Genggaman mereka terlalu kuat, kentara sekali kalau Justin dan Zayn memang benar-benar ketakutan.

“Tetaplah di sini.” ujar Zayn.

“Ya, jangan pergi.” sambung Justin.

Akhirnya kuurungkan niatku, dan kembali duduk. Ya Tuhan, lalu aku harus apa? Aku tidak menyangka jika mereka akan setakut ini. Tunggu, tunggu, mengapa aku jadi peduli dengan mereka? Mereka ini kan menyebalkan. Tapi, aku panik, apakah itu tandanya aku peduli? Jahat memang jika aku tidak menolong mereka. Walau bagaimana pun juga, aku ini bukan orang jahat. Aku harus cepat cepat cari akal agar bisa keluar dari sini sebelum mereka mati ketakutan karena gelap.

Aku terdiam, berpikir keras. Demi dan Perrie! Ya! Mengapa baru terpikirkan? Aku hubungi saja mereka agar bisa membantu kami keluar dari sini. Kumainkan ibu jariku pada layar sentuh iPhone-ku, menghubungi Demi. Nada sambung pertama terdengar, kedua, ketiga.. di angkat.

“Halo, Autumn? Kau di mana? Ini sudah lewat jam sepuluh! Cepat kembali ke kamar atau kau akan mendapat masalah!” belum sempat aku berucap, bahkan bernapas, Demi sudah mengomeliku.

“Tenang dulu, Dem. Aku memang sedang dalam masalah.” sahutku.

“I’ve told ya! Come back here, now!”

“Bisakah kau dengarkan aku dulu? Aku terkunci di dalam perpustakaan dan di sini tidak ada cahaya sama sekali karena semua lampu sudah dipadamkan. Aku bingung harus berbuat apa. Kau harus membantuku. Aku mohon.”

“Apa? Bagaimana bisa?”

“Panjang ceritanya. Intinya aku harus keluar secepatnya dari sini.”

“Autumn, ini sudah lewat jam sepuluh dan kau tahu jika ada siswa yang berkeliaran di atas jam itu maka masalah besar akan menunggu. Untuk amannya, kau berdiam saja di sana sampai esok, aku yakin kau aman di sana.”

“Ya aku tahu, aku tahu. Aku tidak masalah jika harus bermalam di sini, tapi masalahnya…” aku menghentikan ucapanku. Haruskah aku mengatakan aku sedang bersama Zayn dan Justin? Dan mereka berdua sedang sangat ketakutan?

“Masalahnya apa?” tagih Demi.

“Pokoknya aku harus keluar Demi. Aku mohon tolong aku ya?”

Unexpected (Completed)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon