"Berlebihan sekali," gumam Lily membuat Hujan tertawa.

"Ayo, cepetan. Ini hujannya gak bakal reda lama, soalnya langit masih mendung banget." Hujan menepuk jok belakang yang masih kosong melompong. "Ayo."

Dengan canggung Lily duduk di jok belakang Hujan, dan dengan tangan gemetaran memegang pundak Hujan.

"Sudah?" tanya Hujan yang dibalas anggukan kecil dari Lily. Motor Hujan pun melaju, membelah jalanan dan juga angin yang berembus.

Sore yang suram itu, terasa sangat indah untuk Lily.

***

"Coba tebak, apa yang lebih horror dari film ini?" tanya Rion kepada Miranda yang tegang menonton film horror di theatre room bersama dirinya. "Kak Mira! Jangan cuekin Rion!"

"Apaan sih! Ini lagi seru-serunya jadi gak─KYAAAAA!!!" Miranda menjerit saat hantu di film itu muncul dan juga sound effect yang ikut mengagetkan dirinya. Sedangkan Rion mengusap-usap telinganya yang berdengung akibat jeritan barusan.

"Udah, gak usah ditonton lagi." Rion mengakhiri secara sepihak film yang sudah pertengahan jalan itu. Setelah itu, Rion meraih remot kecil yang tergeletak di atas meja untuk menyalakan lampu. Seketika ruangan gelap gulita itu menjadi terang kembali.

"Memangnya ada apaan sih?" tanya Miranda kepada Rion yang mulai bertingkah seperti Ibu-Ibu penggosip yang membawa berita terhangat.

"Kayaknya Lily lagi deket sama cowok deh," ujar Rion memulai aksi menggosipnya.

"Ah, yang bener kamu, Yon?!" Miranda mulai tertarik dengan bahan gosip yang dibawa Rion. Jiwa penggosip Miranda sepertinya sudah tidak bisa dibendung lagi sekarang.

"Beneran! Tadi gue ngeliat dia di antar pulang sama cowok. Gak cuma itu! Si Lily juga senyum-senyum gak jelas." Rion mengusap dagunya dengan tampang berfikir ala detektif. "Auranya Lily juga lebih ceria gitu."

"Kok kamu gak bilang-bilang ke Kak Mira dari awal sih!" seru Miranda tak terima.

"Gue juga baru ingat pas lihat pemeran utamanya bonceng cewek jadi-jadian itu," elak Rion yang dibalas cibiran dari Miranda. "Intinya, gimana kalo kita cengcengin Lily sekarang?"

Miranda dan Rion saling melemparkan senyum jahil dan juga mengeluarkan dua tanduk tak kasat mata di atas kepala mereka. Sedetik kemudian mereka berdua melesat cepat keluar dari theater tersebut untuk menemui Lily.

***

Hujan dan Sauzan memakan makan malam mereka dalam diam. Di ruang makan itu terasa sekali suasana mencekam yang tidak ada kehangatan sama sekali. Tak ada obrolan ringan apalagi candaan yang menandakan mereka saudara dekat dan akrab.

"Oh iya, kayaknya tadi lo nganterin Lily pulang, ya?" tanya Sauzan memecah keheningan.

"Mau gue mengantarnya atau melecehkannya sekalipun itu bukan urusan lo, 'kan?" Hujan berucap santai tanpa sedikitpun menatap sang adik. "Daripada ngurusin bocah itu, kenapa waktu lo gak lo pake buat berhenti jadi pecundang?"

"Dan kenapa juga waktu lo gak lo luangkan sedikit untuk berhenti merendahkan orang lain?" Sauzan membanting alat makan di tangannya ke atas piring. "Memangnya gak aus merasa paling sempurna di dunia, hah?"

"Gue memang sempurna," balas Hujan menyeringai dan menatap Sauzan dengan tajam. "Apa yang gak gue bisa? Gue bisa mendapat apapun yang gue mau, dan lo sama sekali gak bisa apapun. Harusnya lo sekarang malu sama diri lo sendiri."

"Kalau lo sempurna, berarti Mimi itu Maha sempurna, ya?" Sauzan tertawa mengejek saat melihat perubahan air muka kakaknya. "Jangan kira gue gak tau sama rival lo yang satu itu. Mimi adalah jawaban telak untuk membuktikan kalau lo itu sama sekali gak semp─" Sauzan terbelalak dan setetes keringat dingin mengalir begitu sebuah pisau makan hampir menusuk matanya. Sangat beruntung ia bisa menghindar lebih cepat seperkian detik dan selamat dari pisau itu.

PainHealerWhere stories live. Discover now