21. Sama Saja

176 4 2
                                    

"Ambilkan mangkuknya, Dik!"

"Yang ini, Bun?" tanyaku sambil menunjukkan mangkuk bermotif bunga-bunga ke arah Bunda. Ya, kini Bunda tinggal kembali bersama kami. Mbak Ajeng juga ikut. Anggota rumah Pakde sekarang bertambah lagi. Walaupun tanpa Ayah, aku sudah bersyukur dapat berkumpul lagi dengan salah satu orang tuaku. Aku sudah bisa merasakan lagi bagaimana punya orang tua.

Bunda menganggung membenarkan. "Iya. Bawa sini, ya. Tumis kangkungnya sudah mau matang. Pakdemu sudah berkicau di ruang makan," kami tertawa sambil sesekali berpelukan menyamping. Aku tahu betapa Bunda sangat menyayangiku.

Aku keluar dari dapur sambil membawa semangkuk tumis kangkung yang masih mengepul. Asapnya menusuk hidungku sedap. Ini masakan andalan Bunda. "Wah.. sini-sini. Cacing diperut Pakde sudah joget-joget, Nduk," melihatku membawa sayur, Pakde sigap berdiri sambil mengulurkan tangannya ingin cepat-cepat menyantapnya.

Makin mendekat ke meja makan, aku melihat ada wajah baru di sana. Bukan.. bukan.. wajah lama. Dan sudah bosan.

"Kenapa, Nona? Kaget aku di sini?" tanya Tama dengan gaya sok cool. Iya, sih. Aku bingung melihat Tama di sini. Mau apa? "em.. enggak. Aku cuma takut aja,"

"Hah? Takut? Takut apa, Nduk?" tanya Bude sembari menyuapi bang Erde bubur ayam. Tidak sakit tidak sehat, kalau makan bang Erde selalu malas menelannya. Alhasil, mulutnya kini penuh dengan bubur yang meluber keluar dari mulutnya.

Tama menunggu jawabanku sambil bertopang dagu, "aku takut, makanannya kamu habisin semua," kataku sambil memandang jauh ke sekeliling meja makan. Tama lagi-lagi memancing tawa kami keluar dari zona sedih. Bahkan Pakde sampai terbatuk-batuk saking serunya tertawa.

"Tama itu mau ajak kamu jalan-jalan keluar. Tuh, motornya. Kamu belum tahu, kan?" Pakde menunjuk sebuah motor matik berwarna merah kombinasi hitam terparkir di depan rumah.

Tama melihatku sambil mengerlingkan matanya. Genit sekali orang ini. "Pinter banget, sih, kalau cari waktu. Pas orang mau sarapan," kataku sambil berbisik di sampingnya. Namanya juga orang genit, Tama hanya senyum-senyum sendiri sambil terus melahap nasinya. "Kesempatan," bisiknya.

Setelah sarapan, Tama meminta ijin dengan Pakde dan Bunda.

"Ayo, berangkat!" ajak Tama sudah menyalakan motornya. Aku bergegas memakai helm dan menaiki boncengannya. "Kami pamit dulu, Pak. Bu. Semuanya. Assalamualaikum," Tama mulai memacu motornya dengan kecepatan sedang.

Kaca penutup helmku sedikit aku naikan. Poni rambutku yang keluar dari helm bergoyang-goyang tertiup angin. Baru kali ini aku merasa bebas merasakan terpaan angin. Menyenangkan sekali.

"Raib," panggilku berteriak. Angin bertiup lumayan kencang hingga menelan suaraku. Jalanan Semarang sudah ramai pagi ini. Beberapa kendaraan sudah mulai memadati area jalanan kota. "Iya," jawab Tama mulai meresponku.

Sejak Tama bilang mau mengajakku keluar, sampai di tengah-tengah perjalanan aku belum tahu. Tama mau membawaku kemana.

"Kita mau kemana, Ib? perasaan, kok, nggak sampai-sampai, ya?" tanyaku masih dengan suara berteriak. "Udah kamu ikut aja. Aku nggak bakalan culik kamu," lagi-lagi Tama bercanda. Yah, aku pasrah. Sekarang aku hanya berusaha untuk membayangkan semuanya akan menjadi indah.. bersamanya.

Motor Tama sudah berbelok menuju sebuah jalan dengan banyak pejalan kakinya. Tama segera berhenti ketika berada di depan sebuah toko barang elektronik. Toko itu memiliki jalan kecil di sampingnya. "Tutun dulu. Jalannya sempit," pinta Tama. Seoarng pria muncul dari toko dan menyapa Tama akrab. Dengan tidak mengurangi rasa sopanku, kujabat tangannya memperkenalkan diri.

Pain(t)ed HeartWhere stories live. Discover now