6. Seandainya Aku tak Ada

201 8 0
                                    

Karena tidak ada orang di rumah, aku sempat bingung apa yang aku harus lakukan untuk bang Erde. Belum sempat aku baca dengan jelas apa yang sebenarnya tertulis di surat itu, pikiranku sudah melayang kemana-mana. Sudah, cukup. Belum tentu itu benar, Imel. Sekarang bukan waktunya untuk kamu diam saja.

"Taxiii...." panggilku pada sebuah taxi yang kebetulan lewat depan rumah. Aku katakan kepada pak sopir untuk membantuku mengangkat bang Erde yang masih terkapar di kamarnya. Dalam perjalanan ke rumah sakit, aku berfikir. Tuhan, kau jahat sekali..

****

Kenapa tembok ini begitu dingin? Padahal, tidak ada AC di sini. Kenapa di dalam ruangan itu, IGD, harus ada Abangku satu-satunya? meringkuk tak sadarkan diri. Aku mohon jawab aku, Tuhan..!!

Cekreekkk... pintu double dari kaca itu perlahan terbuka. Seorang pria seumuran Ayah datang menghampiriku.

"Ada keluarga dari pasien bernama Erde?"

"Saya, dok," aku jawab dengan sedikit bergetar seperti orang kehujanan tak kunjung ganti baju. Aku lihat di sekelilingku, tak ada keluarga yang lain, "saya adiknya"

Dr. Fajar H., itu nama yang tertulis di nametag seragam putih dokter di depanku ini. Ia mempersilakanku untuk masuk ke ruangannya. Seperti masuk ke dunia lain, ruangan dokter Fajar begitu asing di mataku. Semuanya warna putih. Dari ranjang, bantal, selimut, lantai, dinding bahkan seragamnya, semua warna putih. Warna surga, kataku. Dihias bukan seperti kamar putri raja, tapi seperti penjara bagi putri-putri yang masih diagungkan. Warna putih yang damai namun berhiaskan gambar organ-organ tubuh manusia dari dalam maupun luar. Merinding aku dibuatnya.

Dokter Fajar sedikit membenarkan posisi kacamatanya yang melorot, "jadi kamu membawa sendiri Abang kamu kemari?" tanya dokter Fajar sedikit dengan nada tinggi. Mataku mulai panas. Tahan, Imel, tahan.

"Tidak," aku nyamankan dudukanku, "tadi saya minta bantuan supir taxi untuk membawa kakak saya kemari, Dok"

Aku rasa dokter Fajar sedikit heran denganku. Tapi apa yang diherankan, aku tidak tahu.

"Saya tidak tahu orang tua saya di mana, saat saya sampai di rumah, kakak saya sudah tergeletak di kamar. Oh, iya, Dok. Kakak saya sakit apa?"

Wajah dokter Fajar yang tadi tampak seperti orang heran, jadi makin aneh. Matanya sedikit memelototiku kemudian menatap kertas di depanya dan melototiku lagi. Ada apa sebenarnya?

"Jadi kamu belum tahu penyakit kakakmu apa?"

"Maksud dokter? saya nggak ngerti, Kakak saya memang sakit. Badannya dari kemarin lemas, suhu tubuhnya juga tinggi. Karena kecapean, kan, Dok?" semua yang aku tahu kuucapkan semuanya.

Aku melihat dokter Fajar menggelengkan kepalanya. Secarik surat rujukan rawat inap disodorkan kepadaku. Apa ini? aku mohon, Tuhan, jangan buat aku bingung.

****

Selama ini bang Erde mengidap jantung lemah. Sejak lahir tubuh bang Erde sering ambruk. Tangan berkeringat dan jantung sering berdebar. Daya tahan tubuhnyapun di bawah rata-rata. Inilah sebabnya banyak vitamin yang harus dikonsumsi oleh bang Erde untuk mencegah kondisi tubuhnya yang makin tak sehat. Dan aku rasa, kebiasaan meminum susu bang Erde itu berawal dari ini.

Namun tak hanya itu, dokter Fajar kembali menjelaskan satu lagi perihal keadaan bang Erde.

"Kakak kamu.. Muscular Dystrophy, atau distrofi otot. Ini mengakibatkan beberapa ototnya sedikit terganggu. Dia akan sulit menggerakkan tubuh anggota geraknya, seperti tangan dan kaki. Saat berjalan nanti, mungkin akan banyak bergantung dengan alat bantu, kursi roda misalnya"

Pain(t)ed HeartWhere stories live. Discover now