18. Mengapa Harus Aku?

181 7 1
                                    

1 tahun kemudian...

Hari ini. Aku mendapat ijasah SMAku. Senang bukan main hatiku ini. Beberapa bulan setelah menetap di rumah Pakde, aku ditawari oleh Tama untuk mengikuti homeschooling yang dikelola salah satu teman kuliahnya. Walaupun bukan sekolah umum, homeschooling memiliki standart pendidikan yang setara dengan sekolah biasa. Sebenarnya aku tidak mau lagi bersekolah. Tapi Tama memaksaku dengan menakut-nakutiku akan masa depan yang sulit diraih tanpa ijazah SMA.

Inilah efek sejak kecil terlalu akrab dan percaya akan dongeng fantasi, yang selalu menjadi pengantar manis tiap tidurku. Imajinasiku terlalu kuat sampai satu kata saja orang menyebutnya, aku sudah memiliki kepekaan akan bagaimana bentuk visualisasinya.

Sejak pagi Bude sudah memasak makanan yang begitu banyak untuk merayakan keberhasilanku meraih kelulusan ujian nasional. Walaupun tidak mendapat nilai yang bagus, Pakde, Bude, bang Erde serta Tama merasa bahwa aku sudah sangat hebat. Sekian lamanya aku tak menjamah buku-buku pelajaran, sekejab saja aku berusaha untuk bisa mengikuti serangkaian pendidikan formal modern ini. Dan hasilnya, tidak begitu mengecewakan.

"Nggak apa, Mel. Yang aku tahu, malah banyak anak-anak yang sekolah di sekolah standart nilainya jauh di bawah kamu. Kamu patut bangga, Mel," Tama terus mengucapkan selamat dan menepuk-nepuk pundakku kasar.

"Sakit, tau," erangku tidak suka.

Tidak hanya orang-orang tadi yang menghadiri syukuran kelulusanku, mas Dibyo sekeluarga dan beberapa murid sanggar lukis Pakde tampak hadir. Bahkan beberapa datang sambil menyalamiku dan memberikan kado untukku.

Seperti ulang tahun saja.

Bang Erde tampak senang melihatku akhir-akhir ini lebih bersemangat menjalani hidup. Hingga berimbas ikut membaiknya kondisi tubuh yang perlahan lebih kuat dari sebelumnya.

"Terima kasih Abang udah jadi motifatorku yang paling hebat. Abang nggak perlu kasih apa-apa ke Imel, Imel nggak masalah. Yang penting Imel mau, Abang harus terus kuat. Karena Imel akan selalu ada untuk Abang," ku rengkuh tubuhnya mendekat. Aku peluk tubuhnya yang sudah seperti tulang berjalan itu. Ringkih.

Suaranya terdengar berat di telingaku. Samar-samar ia bergumam, "abbang.. pe-ng-enn l-iha..tt ka-kam.. u jadi pe-llu.. kis hebat," katanya susah payah.

Kulepas pelan-pelan pautan lenganku, aku menganggung takzim, mengamini. "Iya, Bang. Pasti. Mangkanya, Abang harus selalu sehat. Nanti Abang yang harus jadi penonton yang paling keras tepuk tangannya di pameran lukisanku kelak," semoga. Amin. Amin. Amin.

Acara ini memang spesial untukku. Sekilas seperti pesta ulang tahun. Tapi bukan. "Nduk, gimana kalau sekeluarga jalan-jalan ke Jogya. Kali ini kita ajak juga masmu. Biar bisa lihat-lihat Jogya," kata Pakde saat para tamu kembali pulang. Hanya tinggal Tama masih curi-curi waktu menerapi kaki dan tangan bang Erde.

Bang Erde melotot ketika Tama mengurut pelan kakinya. Bukan. Bukan kesakitan, tapi kaget dengan perkataan Pakde.

"Ikut? Pak Marwan nggak salah. Mas Erde harus terus diminta gerak. Kalau ke Jogya, terapinya bagaimana? Di mobil nantinya juga akan sering duduk diam," Tama menghawatirkan kondisi bang Erde. Akhir-akhir ini, semua syaraf bang Erde seperti mati suri. Kadang tidak berfungsi. Seper sekian menit kemudian, hidup lagi. Nggak tentu.

Pakde tersenyum memelototi Tama, "ya, dokternya harus ikut kalau begitu. Sekalian biar si Putri punya teman," kata Pakde melirik nakal ke arahku. Maksudnya?

Pain(t)ed HeartWhere stories live. Discover now