12. Sampaikan Rinduku, Hujan

173 10 0
                                    

Aku pikir, Tama ini adalah makhluk nocturnal. Sukanya kelayapan malam hari. Seperti sekarang, ia datang tiba-tiba ke rumah, "lahopo goleki Imel? Bengi-bengi ngene, mas,(2)" tegur pakde. Rasain kau, dari jendela kamar aku lihat Pakde memberi kultum kepada Tama. Tama yang mendapat cercaan sesekali mengangguk-angguk sambil membungkukkan kepala. Ini salah satu ilmu Pakde yang sering ia terapkan dalam menjadi seorang kurator.

"Andai saja tidak malam hari, wajahnya pasti akan tampak putih pucat. Hahha..," tawaku mengejeknya puas. Tapi tunggu dulu, "Nduk, tuh, si Tama ngajak kamu keluar. Jangan lupa pakai jaket. Udah ditunggu di luar, loh," terdengar suara Pakde memanggilku dari luar kamar.

"Dasar, tukang hipnotis. Mungkin kamu ini bohong kalau kuliah kedokteran. Psikologi baru bener," kataku sepanjang jalan menuju tempat yang ia maksud.

Tama berhasil meyakinkan Pakde untuk membolehkannya mengajakku pergi malam-malam, "rahasia, dong," itu katanya saat ku tanya apa yang ia katakan ke Pakde tadi.

Makin aku eratkan jaket tebalku melilit badan. "Kita mau ke mana, sih?" tanyaku penasaran. Satu yang terlintas dipikiranku kini, coklat hangat pasti enak.

"Udah kamu ikuti aku, nanti juga tahu," terdengar gemeletuk ringan dari area sekitar mulutnya. Pasti giginya sudah konser di dalam sana. "Seharusnya, seorang dokter itu tahu apa yang terbaik buat dirinya. Seperti memakai pakaian panjang dan berbahan tebal untuk mengurangi rasa dingin di tubuh. Bukan pakai kaos panjang yang berbahan tipis," sedikit topik sindiran untuk mengawali pertemuan kali ini.

Dasarnya Tama seorang yang masa bodo, sindiranku tak mempan terhadapnya. "Hehehe," jawabnya singkat.

Perjalanan kami tidak begitu jauh. Kira-kira satu setengah meter ke arah selatan dari rumah Pakde.

"Ini dia, tempatnya indah banget, kan?" seindah karpet Persia jutaan rupiah, pemandangan kota Semarang dari atas bukit di malam hari sungguh membuatku tak mau menutup mulut. "Waww.. keren, banget. Dari mana kamu tahu tempat ini, Raib?" tanyaku di sela-sela acara melonggo tak percaya.

"Aku memang bebasin kamu panggil aku mas atau nggak di depan nama aku. Tapi aku nggak minta kamu ngerubah nama aku seenak belly bottom kamu," hahaha, dia marah. "Biarin, aku lebih suka manggil kamu Raib," jawabku.

Bukit ini lumayan tinggi. Letaknya yang berbatasan dengan jalanan kota tampak begitu indah dengan perpaduan langit gelap seperti tanpa batas. Kilauan lampu-lampu kota terlihat seperti permata yang tersebar di hamparan karpen hitam aspal. Sederhana tapi cantik sekali.

"Sorry, nggak bawa kamera. Tadi kelupaan. Yang penting kamu ingat-ingat saja bagaimana menurut penglihatanmu. Terus.. lukis, deh, di kanvas," Tama masih terus bicara dengan asiknya, "kamu butuh hal-hal seperti yang satu ini, Mel. Referensi gambar," tandasnya.

Sunggguh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Ini luar biasa, Raib. Kamu sampai bisa dapat view yang keren seperti ini, dan masih mengingat aku. Terima kasih, ya, mau berbagi kebahagiaan ke aku," Tama. Banyak kejutan dari makhluk yang satu ini. Apapun. Setiap dari Tama, prepare to be WOW..

Tik tik tik tik... "hujan.. hujan.., Raib," aku panik saat kurasa ada percikan air mengenai punggung tanganku. Pantas saja sejak tadi tak kulihat bintang di atas langit. Ternyata mendung.

"Kita berteduh di pondok itu saja, ya. Tunggu sampai redaan," tak jauh dari kami berdiri ada sebuah pos pengamanan warga. Walaupun terbuka, yang penting beratap. Lumayan untuk berteduh.

Rupanya hujan kali ini tidak main-main. Tidak sampai satu menit, rintikan gerimis tumbuh pesat menjadi hujan, lebat.

"Tahu tidak," kata Tama mulai mencairkan suasana, "enggak," jawabku santai. Hahaha, Tama tampak stress dengan kelakuanku.

Pain(t)ed HeartWhere stories live. Discover now