15. T without T

150 8 0
                                    

Bang Erde tidak menjawab. Aku ketuk sekali lagi pintu kamarnya.

"Bang.. sarapan dulu, yuk.. aku masuk, ya," satu kali aku panggil, namun tak ada jawaban dari dalam kamarnya. Khawatir mulai menyelimutiku.

"Bang.. bang.., answer me, please..," masih tidak ada jawaban.

Tanpa menunggu jawaban dari bang Erde lagi, langsung saja aku membuka paksa gagang pintu kamarnya. Engselnya berderit memecah keheningan rumah Pakde. Sungguh. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Bang Erde terduduk dilantai, tak jauh dari kursi rodanya. Wajahnya penuh dengan peluh. Kakinya yang kaku tertindih buku yang jatuh dari atas meja.

Pakde dan Bude langsung berlari setelah mendengar teriakan kerasku dari dalam kamar. "Puskesmas dari sini jauh, Nduk. Kalau seperti ini biasanya diapakan masmu? Pijat?" tanya Bude makin panik. Tak ada suara selain engahan dari mulut bang Erde. Seperti energinya terkuras habis untuk sekedar merintih kesakitan.

"Biasanya, ya, diterapi. Tapi, aku nggak bisa. Takut salah..," belum selesai aku bicara, bang Erde tampak menyebut sebuah nama, "Tam.. Ma. Tama..," panggilnya.

Benar juga. "Kamu panggil Tama ke sini, Nduk. Kasihan masmu," perintah Pakde kepadaku. Aku sempat khawatir dengan sikap Pakde yang marah karena kejadian hujan deras di pos keamanan beberapa hari lalu, "Pakde nggak marah?" tanyaku lebih memastikan.

"Ndak, kok. Udah, cepetan panggil si Tama. Masmu sudah ndak kuat lagi itu. Kasihan. Kamu tahu rumahnya, kan?" aku mengangguk paham. Sebelum ke bukit malam itu, Tama sempat menunjukkan rumah.

Cardigan hitam yang tercentel di jemuran depan aku sambar saja untuk menutupi bajuku yang sedikit kedodoran dan bolong di bagian lengan. Bergegas pergi, menemui sang calon dokter spesialis. Sesampainya di depan gerbang rumahnya, Tama begitu terkejut melihat kedatanganku yang mengenakan stelan pakaian tidak nyambung. Cardigan hitam menutupi baju tidur bergambar beruang. Celana pendek dari baju tidur yang bukan satu stel dengan atasan yang aku kenakan. Ditambah sandal jepit warna kusam karena sering digunakan di tanah langsung. Terlihat sekali jika aku tergesa-gesa. "Bang Erde, Ma," ucapku.

Tama seperti tahu aku membutuhkannya. Segera. "Tunggu sebentar, aku ambil peralatan dulu," pintanya kemudian masuk ke dalam rumah. Satu menit kemudia ia keluar dengan membawa sebuah kotak hitam khas milik dokter-dokter yang sering aku lihat di puskesmas-puskesmas.

Beberapa murid Pakde terlihat keluar dari rumah dengan pandangan senang. "Alhamdulillah, libur dulu. Jadi aku bisa ngerjain tugas yang lain," kata seorang dari murid Pakde yang aku ingat ialah yang berbisik-bisik saat aku keluar dari kelas waktu itu. Saat aku sampai bersama Tama, bang Erde sudah dibaringkan di atas kasur oleh Pakde dan mas Dibyo, rekan kerjanya dari galeri. "Ma, coba lihat Erde. Kakinya katanya linu," kata Pakde mempersilakan Tama masuk kamar.

"Sebentar saya periksa dulu, Pak," Tama mulai mengeluarkan alat-alat dari tas hitamnya. Sebuah palu plastik kecil ia ketukan di beberapa titik syaraf kaki bang Erde.

Tama mengerutkan dahinya saat bang Erde berteriak kesakitan. "Oke, bagian ini sakit?" pukulnya di sekitar pinggang.

"Aaghh, i-iya, mas. Sakit sekali," kata bang Erde sambil menggigit bibir bawahnya. Aku tak tega melihat kakakku satu-satunya itu menderita.

Pakde mendekati Tama yang tiba-tiba menyuntikkan sesuati ke lengan kiri bang Erde. "Pak Marwan tenang saja. Ini suntikan penghilang rasa sakit. Dosisnya saya sesuaikan dengan kondisi mas Erde sekarang."Setelah bang Erde tenang dan mulai terlelap, Tama mengajak kami untuk membicarakan kondisi bang Erde di luar.

"Muscular dystrophy (MD) itu penyakit berkesinambung, Pak. Setiap saat akan semakin lemah. Bukan masalah otot saja yang diserang, saya takut jika sudah sampai menyerang pernapasan mas Erde. Tadi sempat saya lihat, mas Erde sulit untuk mengatur napasnya sendiri. Sejauh ini saya hanya bisa menerapi mas Erde untuk mengurangi sakitnya.

Saran saya, lebih baik mas Erde mendapat tindak lanjutan ke rumah sakit. Agar dokter mengetahui tipe MD apa," Tama menjelaskan gamblang tentang kondisi bang Erde yang makin memburuk. "Saya tidak mau menutup-nutupi semuanya di sini. Saya takut, penyakit mas Erde akan makin membuatnya menderita. Selalu lakukan olah tubuh untuk membantu memperkuat otot mas Erde. Beberapa vaksin juga mungkin diperlukan mas Erde untuk menjaga agar pernapasannya tidak infeksi," makin takut aku mendengar semuanya.

Tidak hanya aku, Bude bahkan sampai mengeluarkan air mata mendengar penuturan Tama.

"Lalu, apa yang sebaiknya kami lakukan, Ma? Pakde ndak paham sama yang beginian," kata Pakde takut-takut. Suaranya terdengar bergetar seperti menahan tangis. Ini bukan bidangnya.

"Kalau memang sulit jika harus ke rumah sakit, cukup mengajak mas Erde untuk berolah raga kecil di halaman. Setiap pagi, latih mas Erde untuk melakukan pemanasan. Menggerakkan kaki, tangan dan olah napas itu sudah cukup, Pak," aku terus mendengarkan perkataan Tama sembari membelai-belai rambut ikal bang Erde yang lepek karena keringat. Tampak tidak terurus.

Tama undur diri setelah selesai berbincang dengan Pakde. Aku memilih untuk menyendiri di atas ayunan. Tama melihatku. Ia lantas mendekat mengahampiri, "sabar, ya. Ini sudah takdir Allah," katanya bersandar di tiang ayunan.

"Bukan takdir. Ini kutukan!"

"Huss.. ngomong apa kamu itu," Tama sontak marah dengan statmenku, "kutukan siapa? Ini dunia nyata, Mel. Bukan legenda Mali Kundang," katanya.

Kupaksa air mataku untuk tidak keluar. Tapi sayang. Tidak berhasil.

"Ini semua karena mereka. Seharusnya petaka ini bukan kami yang tanggung. Bukan. Bukan, Tama," aku panggil ia dengan nama yang sebenarnya. Aku tidak mau bercanda. Kali ini.

Tama menghentikan rantai besi ayunanku. Kini tubuhku berhenti, Tama duduk bersimpuh di depanku. "Kesalahan Ayah Bunda, yang tanggung kami. Lihat saja, bang Erde sakit saat mereka bercerai. Sekarang aku, untuk melukis saja rasanya aku tak bisa. Semuanya terkesan.. terencana."

Mata Tama menatapku lekat sekali. "Iya, Mel. Terencana. Tapi bukan berarti Tuhan mengutuk kalian," kata Tama meyakinkanku.

"Bukan bagaimana?" aku mendorong tubuhnya menjauh dari ayunan. Aku pergi menjauhi dirinya, tapi Tama mengejarku. Tangan kananku tertarik hingga menghadap tubuhnya langsung. Jaraknya.. satu jengkal saja.

Deg deg deg deg... rasa yang pernah aku rasakan saat bersama kak Daru muncul lagi. Oh Tuhan, ada apa ini?

"Kamu nggak lihat, ya? Tama, kamu ngertiin aku, dong. Aku.. a-aku..," huhhh.. . Dada kekar Tama menjadi sandaran pipiku yang basah karena dua air. Air mata dan air hujan.

Ya. Hujan turun mengguyur tubuh kami berdua. Dinginnya menyatukan suhu tubuh kami yang sama-sama basah kuyub. Di telingaku, aku dengar Tama berkata, "jangan pernah kamu remehkan janji Tuhan. Ia punya kejutan untukmu. Suatu saat nanti," yeah, I paint my own reality. And with him, I gotta put my pain in the paint.[]

tbc...

Pain(t)ed HeartWhere stories live. Discover now