3. Bukit Berbunga

199 7 0
                                    

Tidak seperti biasanya, teman. Aku bangun sepagi ini. Bahkan, Ayah yang melihatku seperti ini ingin tak mau lepas berkomentar.

"Aduh, akhirnya putri tidur Ayah bangun juga. Siapakah gerangan pangeran yang membangunkan putri kesayanganku ini, ya?" kata Ayah sembari memotongi rerumputan liar di sekitar halaman depan villa kami.

Aku sedikit mengucek mataku, "Ayah bisa saja." Jawabku malu-malu.

"Iya, lo. Apa mungkin pangeran Langit yang membangunkan kamu, sayang?"

"Pangeran Langit? Siapa itu, Bunda?" kata Ayah tak mengerti.

Ayah pantas untuk tidak tahu. Pangeran langit itu adalah dongeng yang tadi malam diceritakan oleh Bunda kepadaku. Jadi Bunda bercerita, kalau di atas langit sana ada sebuah kerajaan yang indah. Begitu banyak kedamaian di sana. Penuh dengan cinta. Nama kerajaannya mengingatkanku pada sebuah lagu kesukaan Ayah,

... kau mainkan untukku, sebuah lagu.. tentang negeri di awan...

Begitulah sepenggal lagunya, aku tidak begitu hafal liriknya. Yang pasti, bunda bercerita jika aku bisa memiliki kedamaian di dunia ini, suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan pangeran Langit impianku. Dan di izinkan untuk aku bisa melihat istana kedamaiannya. Semoga..

"Ow.. begitu. Jadi anak Ayah sudah ingin bertemu dengan pangeran Langit atau pangeran hatinya?"

"Ih, Ayah. Jangan bercanda," mungkin jika kalian melihatku saat ini, tawa tak akan pernah bisa kalian tahan melihat wajahku yang merah merona karena malu tak tertolongkan. Aku memutar bola mataku pada sekeliling rumah. Memasang wajah siaga satu jika bang Erde ada di dekatku dan siap dengan ejekan super ampuhnya. Tapi, mana dia?

"Abang kamu saja belum bangun," kata Bunda.

Apa? Bang Erde belum bangun? Ini dia saatnya aku membalas dendam kesumatku. Tanpa mengganti piama terlebih dahulu, plus wajah bantal yang belum hilang, aku bergegas menuju kamar bang Erde.

Benar, di dalam kamarnya yang tidak dikunci, aku langsung saja masuk tanpa permisi. Bang Erde masih tancap selimut di kasurnya. Aku putar otakku, mencari apa yang harus aku lakukan untuk Abang tercintaku yang satu ini.

"Aha," aku teringat sesuatu.

Sebelum kami sekeluarga berangkat ke villa ini, bang Erde sempat bercerita tentang seorang gadis yang dia taksir di kampusnya.

"Cantiknya seperti putri Cleopatra. Tahu tidak kamu putri Cleopatra?" Aku hanya menggeleng. Jawaban yang tidak melegakan hati bang Erde.

"Hah.. payah kamu," sambil meminum gelas ketiga susu sapinya.

Mungkin dengan cara itu aku bisa membangunkannya. Tapi sepertinya dewi Fortuna sedang berpihak padaku. Belum saja aku keluarkan jurus rayuan sinetronku, bang Erde mengigau.

"Sandra.. Sandra... kau begitu cantik. Laksana bunga melati di antara ribuan bunga bangkai," aduh.. rayuan yang memuakkan. Oke, it's show time... Aku belai rambut bang Erde mesra. Terasa sedikit lengket di tangaku, "ih..jorok!"

Hahay.. dia menyambutku. Next.

"Erde, aku di sini."

"Ha... Sandra... Sandra.. ini aku Erde. Anak yang terlanjur lahir tampan ke dunia ini ingin memelukmu," akhirnya, bang Erde merespon.

Aku belai rambutnya, aku belai pipinya, lalu... BYUR!

"Abbbbbruuuuu...sssss.... Heh, banjir... banjir!"

"Hahahahah.... Mangkanya, bangun, dong. Hari kebalikan, ya, sekarang? Aku yang kepagian atau Abang yang kesiangan?" ya, puas... sudah memberikan guyuran segelas kesejukan di pagi hari.

Pain(t)ed HeartWhere stories live. Discover now