11. Kakak Ketemu Gede

160 6 0
                                    

Hingga satu minggu berlalu, aku tidak mendapat kabar satupun tentang bagaimana Nenek sekarang. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Bagiku, Nenek sudah menjadi masalalu yang jingga abu-abu. Absurd. Buruk. Malas untuk membahasnya lagi. Oke, lupakan.

Bang Erde memintaku untuk memijat kakinya. Ia bilang, linu dan berat di sekitar dengkulnya. "Aku nggak berani, Bang. Nanti kalau ada apa-apa, bagaimana? Aku bukan terapis, kayak..,"

"Tama? Ini sudah ke sembilan kalinya kamu sebut nama itu, loh, Mel. Kamu suka sama dia, ya? Hayoo, ehemm.." ledek bang Erde sambil mencubit pinggangku. Walaupun kakinya lumpuh, tangannya masih kuat juga untuk mencubit. Keras dan kuat sekali.

Aku tepis saja tangan bang Erde, geli banget. Seperti menolak mentah-mentah lamaran panggeran tampan dari negeri dongeng, sok jual mahal, "genit banget, sih, Abangku ini. Ya, soalnya, nama dia yang muncul tiap kali kita ngobrol. Dan satu lagi, cuma dia yang aku kenal di sini. Sebagai kakak. Jangan salah persepsi, oke.." sedih sekali jika aku ingat aku tak lagi mempunyai teman sejak tak bersekolah.

Rasanya baru kemarin saja aku melihat Firda membacakan puisi bertemakan sahabat sejati di depan kelas untukku. Dan rasanya seperti baru tadi pagi, aku dan teman-teman satu kelas mengikuti jalan sehat di balai kota bersama. Jalan bersama, dan pulang hanya membawa segelas air mineral, door prize selalu lewat, anda belum beruntung.

Tidak. Aku tidak pernah merasa sendiri jika bersama mereka. Sahabat-sahabatku yang sungguh sulit dicari cacatnya. Berlebih memang, namun aku suka jika bersama mereka. From the bottom of my heart.

"Bilang saja kalau ada masalah, Mel. Insya Allah kita bisa bantu," kata Ririn suatu hari padaku. "Iya, Mel. Anggap saja kita ini diary. Bisa dicorat-coret kapanpun kamu mau curhat. Tapi, jangan muka kita dicoret-coret, ya, hehehe..," Iza ikut nimprung sambil cengangas-cengenges.

Mood booster paling keren yang pernah aku punya. Orang yang mau menerima teleponku malam-malam, menampung ceritaku dengan sesekali suara uapan dari mereka. Suara-suara penyemangat setiap kali aku maju mengikuti lomba lukis. Mereka, hampir selalu ada buatku.

Dahulu sekali, aku pernah seperti saat ini. Tidak punya teman. Sendirian. Saat itu aku masih SD. Sejak kecil aku sudah memiliki sahabat-sahabat dekat yang begitu akrab. Sangking akrabnya, kami sempat terjuluk sebagai geng Teletubbies. Ke mana-mana selalu berempat. Aku, Weni, Yena dan Danu. Kami tidak mau memungkiri sebutan itu. Ide-ide gila yang sering dilakukan sebuah geng juga menjadi warna yang berbeda dalam hari-hari persahabatan kami.

Danu pernah mengusulkan, "kita buat kesepakatan, yuk. Kayak janji-janji gitu," katanya. Weni, yang punya kecepatan low dalam menangkap sebuah permasalahan ikut menyeret Yena bersuara, "begini, kita buat sebuah janji. Kita harus punya komitmen untuk tetap kompak. Ya, salah satunya dengan membuat sebuah perjanjian," lanjut Yena memperjelas.

"Terus, janji apa?" tanyaku.

"Jika ada tantangan dan itu ditujukan kepada kita semua. Apapun itu, kita harus berani. Oke, jika ada kesadaran kesetiakawanan, itu batal. Tapi jika ada tiga suara di antara kita, satu yang tidak setuju mau tidak mau harus ikut dengan suara terbanyak," terlalu tinggi mungkin jika bagi seumuran anak SD kelas 4, itu terlalu keras. Dan mungkin juga otak belum juga nyampek. Alhasil, "sepakatttt...," tanpa tahu apa konsekuensinya.

Kami selalu memegang teguh apa itu janji. Itu sebuah hukuman mati bagi kekonsistenan mulut ciptaan Tuhan yang kami miliki. Sekolahku kedatangan petugas puskesmas setelah libur lebaran. Banyak yang tidak tahu tentang berita ini. Atau dengan kata lain, mendadak.

Katanya, entahlah apa ini benar, pihak yang mengurusi kesehatan warga mengirim para kader kesehatan itu untuk ke sekolah-sekolah. Memeriksa kesehatan anak-anak sekolah yang baru saja libur panjang.

"Nanti ibu dokter akan panggil menurut absen untuk mendapat suntik kekebalan tubuh, ya. Diharap kalian semua bisa mendapat suntikan ini," kata bu Lis, wali kelasku.

Glekk.. aku menelan liurku tanpa sadar. Jarum lagi? Jadi selama ini ada dua benda yang aku takuti. Keduanya sama-sama jarum. Yang pertama jarum pentul dan.. jarum suntik. Aku lupa bagaiman aku bisa takut dengan jarum pentul. Kejadiannya lama sekali, sekilas aku ingat dulu karena bunda sedang menjahit. Ada jarum pentul yang berwarna-warni, aku kira permen dan saat kuambil, jrepp... "aww.. sakit," mengalirlah itu cairan merah dari jempol kananku. Mulai saat itulah aku enggan PDKT dengan jarum pentul.

Kalau jarum suntik, aku rasa banyak yang takut akan benda ini. Alasannya klasik, kok. Ngeri, itu saja. Dan.. bisa ditebak, aku menolak mentah-mentah tawaran itu.

Yena datang menghampiriku, setelah semua sudah selesai disuntik. "Kita selesai," katanya tegas dan tiba-tiba. Apa-apaan ini? Aku belum menyadari apa salahku.

Akhirnya, setal lama aku renungkan, aku sadar. Ini konsekuensi yang harus aku terima. Mereka marah besar. Tidak hanya menghujat, ternyata mereka menyayangkan keputusan ini, "tidak ada yang harus kalian sesalkan. Maafkan aku, aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Mulai sekarang, jangan hiraukan aku lagi," selesai. Aku tak punya teman.

"Abang tahu, Mel. Berat sekali hidup kita ini. Mau senang malah jadi malang. Mau disayang malah ditabok pakai loyang. Sakit. Tapi Abang tahu, diri kamu masih semangat. Punya rasa untuk terus berjalan. Lihat itu," galeri Monice, lukisan terakhir yang aku bawa dari rumah nenek dipamerkan Pakde di galeri lukisannya. Jika dibandingka dengan lukisan-lukisan Pakde, punyaku tidak ada apa-apanya. Merkurius-Neptunus. Jauh.

"Itu dari petaka, Mel. Tapi berkat passion kamu itu, jadi sebuah estetika. Mengerikan. Sungguh mengerikan. Abang nggak bisa bayangin kalau kamu bisa mengalahkan egomu, jangan pesimis kamu tidak bisa berbuat lebih dengan cat dan kanvas," panas di pekarangan rumah Pakde sama panasnya dengan kedua mataku. Aku butuh air, air mata, "itu teman kamu, Mel," sambungnya.

Terima kasih, Tuhan. Walau aku tak lagi merasa ada kasih sayang dari kedua orang tuaku, ia, kakak sunyiku. Kakak yang seharusnya menjagaku secara lahiriah, sudah cukuplah bagiku sentuhan batin yang dapat menjagaku lebih dari segalanya. "Ehh, sebelum kamu nangis, Abang baru ingat. Mungkin benar, si Tama itu orang yang kamu kenal baik di sini. Sebagi kakak, kakak ketemu gede. Hahahaha..,"

Sungguh, ini tidak lucu.[]  

Pain(t)ed HeartOù les histoires vivent. Découvrez maintenant