16. Sweet Temptation

167 9 2
                                    

Minggu subuh, Pakde mengajakku ikut serta dalam sebuah acara pameran lukisan seorang pelukis ternama di Yogyakarta. Awalnya aku tak tega meninggalkan bang Erde di rumah dengan Bude sendirian.

"Sudahlah, pergi saja. Nanti bawakan bakpia kesukaan, Abang, ya. Yang tahu rasa favorit Abang, kan, hanya kamu," rayu bang Erde agar aku mau ikut Pakde ke Jogya.

Setelah lama bang Erde meyakinkan aku bahwa ia akan baik-baik saja, aku setuju ikut Pakde ke pameran lukisan pelukis itu. "Iya, deh. Tapi kalau ada apa-apa langsung panggil Bude, ya. Rai.. maksudku mas Tama udah aku wanti-wanti untuk sering main ke sini lihat kondisi Abang," bang Erde hanya mengangguk santai dan tersenyum manis.

"Ingat. Olah raga terus. Dan jangan lupa, hati-hati, kalau kangen setengah mati sama aku, ya. Hehehe," pesanku sebelum masuk ke dalam mobil pakde.

Tama yang ikut mengantarkanku hanya bisa senyam-senyum melihat tingkah diriku yang masih bisa bercanda sebelum berpisah. Ada cekungan di pipi Tama sebelah kanan makin membuatnya manis sebagai seorang pria berwajah baby face.

"Bukan hanya Abangmu yang kangen setengah. Aku juga bisa-bisa kangen sama kamu, Mel," seloroh Tama jail.

Pakde terdegar berdehem menanggapi perkataan Tama tadi. Sementara aku berblushing ria, Bude menyerahkan kepadaku sebuah termos hijau berisi wedang jahe. Wedang jahe sering Bude bawakan kepada Pakde untuk mengurangi rasa mual yang sering terasa ketika berkendara. Bahkan saat Pakde berangkat ke Jepang dulu, Bude sampai membawakan beberapa ruas jahe merah untuk dibuat sendiri wedang jahenya di Jepang. Tanda cinta, katanya.

"Udah, udah.. acara gombalannya selesai sampai di sini dulu. Udah mau terang, nih. Buk, kita berangkat dulu, ya. Semuanya, Assalamualaikum..," mas Dibyo langsung tancap gas melajukan mobil kami keluar halaman rumah. Aku melambaikan tangan ke arah dua pria yang kini selalu menghiasi cerita dalam hidupku. Bang Erde dan mas Tama. Aduhh.. aneh sekali rasanya bibirku memanggilnya dengan sebutan mas Tama. Ya, walaupun sebenarnya aku harus memanggilnya mas Tama.

"Aku nggak suka di panggil mas sama cewek yang lebih mudanya nanggung seperti kamu. Jadi merasa tua dengan wajah ganteng lima belas tahunan," katanya suatu hari. Mengelitik.

****

Sepanjang perjalanan, Pakde sibuk dengan membuka-buka berkas tentang acara pameran nanti. Ini yang selalu Pakde lakukan sebelum datang pada sebuah acara. Mempelajari dulu sebelum ia berani berkomentar.

Pakde duduk di bangku depan. Menemani mas Dibyo yang bertindak selaku driver perjalanan kami. Sesekali terjadi percakapan seru tentang sang pelukis yang akan menjadi target penilaian Pakde.

"Dia mau buat gebrakan baru, loh, Pak. Katanya nanti ada lukisan yang ia buat karena terinspirasi dari Anthony van Dyck," mas Dibyo berspekluasi.

Mas Dibyo terhitung masih muda. Usianya 27 tahun. Tapi pengalamannya dalam dunia seni, khususunya lukisan tidak perlu diragukan lagi. Ia sudah sreg di dunia lukis sejak masih TK. Bahkan sampai menikah dan punya anak, hobby melukis mas Dibyo ikut menurun ke anaknya. Kini mas Dibyo ikut Pakde karena ia menjadi asisten dosen bersama Pakde di kampus.

Pakde tetawa menanggapi kata-kata mas Dibyo. Dari bangku tengah aku lebih banyak diam mendengarkan musik dari earphone yang terhubung ke handphoneku. Suara yang aku stel tidak keras masih mudah menangkap suara lain dari luar. Salah satunya suara Pakde dan mas Dibyo.

Suara wanita dengan lagu menghentak khas Demi Lovato mengalun merdu menguasai alat indra pendengaranku.

You make me glow, but I cover up
Won't let it show, so I'm

Puttin' my defences up
'Cause I don't wanna fall in love
If I ever did that
I think I'd have a heart attack...

Pain(t)ed HeartWhere stories live. Discover now