5. Aku Mohon Jangan

162 8 0
                                    

Perjalanan yang lumayan melelahkan. Taksi yang aku tumpangi sempat mengalami gangguan mesin saat di jalan raya. Ya.. mau apalagi, aku ingin berganti taksi, tapi setiap lewat, penuh penuh dan penuh... aku teringat dengan kata-kata Ayah waktu aku mengikuti lomba lukis saat masih TK dulu,

"Kalau mau apa yang kita inginkan tercapai, harus sabar.. karena Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.." kata Ayah yang menyejukkan hatiku.

Aku ingat, Ayah berkata seperti itu saat aku kalah. Aku menangis sejadi-jadinya. Karena itu adalah kompetisi pertamaku dan juga kekalahanku yang pertama.

Akhirnya sampai juga. Rumah tampak sepi. Mungkin bang Erde masih istirahat. Kasihan bang Erde, sejak kecil dia selalu gampang sakit. Apapun jenis vitamin dan supplement makan tak pernah luput dari diriya. Walaupun begitu, jangan pernah menyebut bang Erde "Orang Penyakitan" pastinya, dia akan sangat marah mendengarnya.

"Assalamualaikum, Bunda..!!" aku berteriak-teriak seperti orang kemalingan. Tak ada yang menjawab. Di mana para penghuni rumah ini? Gumamku dalam hati.

Bunda tak ada di dapur, Ayah.. tak ada di ruang kerjanya. Di perpustakaan keluarga, taman belakang, kamar, bahkan garasi rumahpun mereka tak ada. Upayaku mencari Ayah dan Bunda hampir pupus, hingga akhirnya sebuah tangisan terdengar dari kamar bang Erde.

Kamar bang Erdelah yang belum aku periksa dari tadi. Aku sengaja karena memang aku tak mau mengganggu bang Erde yang sedang beristirahat dan juga letak kamar bang Erde yang berdampingan dengan kamarku.

"Bang Erde.." aku langsung berlari menuju kamarnya di lantai dua. Suara tangisan itu makin keras. Dan hampir saja aku sampai di depan kamar bang Erde, suara tangisan itu menghilang.

Pintu kamarnya aku buka tanpa permisi, dan benar. Bang Erde sudah tak sadarkan diri di lantai.

"Bang.. bangun.. bangun, Bang.." aku goyang-goyangkan terus tubuh bang Erde. Tetap tak bergerak. Aku coba balikkan tubuh bang Erde, tubuhnya menindih sebuah surat berstempel Pengadilan Agama.

Tubuhku seketika bergetar, badanku panas dingin bagai gurun Sahara dan kutub Utara. Kedua bola mataku tak bisa bergerak lincah, lidahku beku. Air mataku jatuh, keringat dinginku bercucuran.

Baru saja aku berdoa, aku mohon, aku tak maumengalami yang Ibna alami. Ini tak mungkin terjadi. Tidak mungkin.. jangan...[] 

Pain(t)ed HeartWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu