17. Kertas Gambar vs Tensimeter

187 8 2
                                    

Isakan tangis bang Erde makin kencang, bahunya sampai terguncang hebat. "Ud-dahh.. jangan na.. ngis laggiihh... Abbang sud-dah ikhlas, M-mel. Udahh, Abang ng-nggak suka lihhat kamu nanggisi Abang ter-rus," susunan kata itu keluar terbata-bata dari mulut bang Erde. Perlu kerja keras mengucapkannya.

Aku tepuk-tepuk punggung tangannya yang saling berpangku. Tidak lebih dari lima kali. Sebanyak itu pula aku menahan isakanku.

Aku ingat. Malam itu bang Erde marah melihatku menangis. Nenek marah saat tahu bang Erde menolak diterapi. Karena merasa dipermalukan olehnya, Nenek menghukum bang Erde dengan tidak memberi makan malam. Aku berontak dan meminta pertanggung jawaban Nenek atas perlakuannya. Tapi nihil. Nenek malah ikut memarahiku habis-habisan.

"Nggak perlu kamu menangis karena Abang. Buang-buang air mata. Nggak makan semalam juga nggak separah kena influenza, kok. Anggap saja puasa," katanya.

Dan malam itu, menjadi malam pertama menikmati tangis sebagai menu makan malam kami berdua.

"Bang, aku janji nggak akan nangis lagi. Terakhir, Bang," ucapku berusaha tampil tegar. Walaupun kata-kata Tama tempo hari kembali menyadarkanku bahwa.. aku tidak bisa sepenuhnya tegar. Kalau tidak makin parah.. ya lewat. Seperti kutukan.

Barangkali Tuhan tidak pernah marah andai saja Ayah dan Bunda tidak main-main dengan perjanjian itu. Nasibku dan bang Erde bisa jauh lebih baik. Tapi itu hanya sebatas seandainya. S-e-a-n-d-a-i-n-y-a.

Buku gambarku sedikit berdebu karena angin di bukit ini menerbangkan daun-daun kering dari pohon. Mataku juga jadi sasarannya. Sial.

"Kayaknya, udah mau masuk musim hujan. Anginnya lembab banget," Tama mengosok-gosokkan tangan di kedua bahunya.

Rambutku ikut-ikutan berantakan diterpa angin. "Mangkanya, kalau udah tahu begitu, tiap kali ajak keluar, siapin payung. Kalau bisa jas hujan sekalian," selorohku mengingatkannya tentang tragedi pos keamanan. Tama tersenyum-senyum sendiri mengingatnya.

"Kamu pikir, aku mau apa berteduh lagi di pos keamanan sama kamu malam-malam? Ogah?" langkahnya mendekat di bibir bukit. "Dasar cari mati kamu, ya? Minggir, Raib. Nggak kelihatan, tau, viewnya. RAIBBB..," lagi-lagi hobby sekali si Tama menggodaku.

Butuh teriakan untuk membuat Tama berhenti menggodaku lagi. Setelah tertawa puas, ia duduk di sampingku. Mengintip sekilas sketsa di balik buku gambar yang aku dekap sejak tadi. "Mirip," katanya tiba-tiba.

Mulutku santai pelan-pelan menghujatnya, "ya, iyalah. Calon pelukis hebat," kataku penuh optimisme. Kata-kata positif pertamaku dalam satu bulan terakhir ini. Digenapi dengan hirupan oksigen ke paru-paruku lancar. Nyaman juga berpikir positif.

Ini yang aku cari. Mendapat kenyamanan disaat batin tertekan. Pakde menyadarkanku dengan pandai-pandai mencari pilihan hidup. Aku harus tahu, pilihanku sebenarnya sudah ada di depan mata.

"Melukis itu jalanku. Dan nggak ada lagi yang bisa buat aku membenci passionku sendiri. Oh, iya. Ini buat kamu, Ib," aku menyobek kertas bergambar sketsa dirinya sedang menatap hamparan perbukitan sekitar.

"For me? Nobody has ever painting me something before," Tama mengambil kertas dari tanganku. Ets.. enak saja. Wajah cerahnya berubah murung saat aku balas menggoda dirinya.

"Hahaha.. kasihan banget, sih. So, mau nerima nggak?"

"Mau banget, Cantik..," sambarnya kilat.

Duakk.. "Apa yang kamu bilang?" aku pukulkan pangkal pensil 8B ke jidatnya. Tama mengerang kesakitan. "Cantik. Emang bener, kok, kamu cantik," tukasnya santai.

Sudah lama aku tidak mendapatkan kata-kata seperti itu lagi. Terakhir, aku mendapatkannya dari kak Daru. Setiap kami iseng saling chat atau SMS, panggilan sayang sudah tidak asing kami tulis di belakang percakapan kami.

"Hey, aku nggak ikhlas, loh, kasih kamu sketsa itu. Jadi kamu harus kasih aku sesuatu buat gantiin lukisan itu. Berani?" ini salah satu projek mengerjainya demi melampiaskan balas dendamku selama ini.

Tama berjuang keras untuk bisa memberiku sesuatu. Ia berjalan mondar-mandir mencari jalan keluarnya. Pada akhirnya, "kamu tunggu sebentar. Jangan ke mana-mana," Tama menahanku untuk tetap duduk di sekitar pohon sampai ia datang kembali dengan hadiah yang ia janjikan padaku.

Rumah Tama tidak jauh dari bukit yang kami datangi ini. Cukup turun bukit sebentar. Belok ke barat, sampailah di rumah Tama.

Aku menunggunya hampir lima belas menit. Sempat terpikirkan bahwa Tama mengerjaiku untuk tidak kembali lagi. "Apa si Raib capek, ya, naik lagi ke atas bukit? Apa dia benar-benar mau ngerjai aku lagi?" pertanyaan-pertanyaan tidak percaya berkeliaran di otakku. Manusia seperti Tama memang sulit untuk di tebak isi otaknya. Komitment dengan orang. Tapi nggak benar-benar di tepati. Dasar laki-laki.

"Hey, dibilangin jangan pergi dulu. Bandel banget, sih?" Tama pelan-pelan menaiki jalan setapak yang lumayan menanjak. Ada butir-butir peluh mengalir di pelipis kanannya. Wajah Tama mengkilat sempurna.

Sebuah kantungan hitam dari kain kaku ia serahkan padaku. Langkahnya kesulitan menapaki gundukan tanah terakhir. Energinya sudah terkuras (hampir) habis, "aku mau kasih kamu yang bermanfaat. Yang penting kamu relaks," katanya sambil terengah-engah. Mengatur napas pelan-pelan.

Tara meraih lengan kananku. Cardigan yang aku pakai sedikit kugulung lengannya sampai pangkal pundak. "Mau kamu apakan aku, Raib?" seperti selang panjang berwarna hitam dengan kain pelapis bervelcro untuk membelit lengan. Sebuah lingkaran serupa kompas memberi kesan bahwa itu alat seorang dokter. Tensimeter.

"Aku mau cek tekanan darah kamu. Kata pak Marwan, kamu sering mimisan tiap kali kecapekan. Bener?" gaya Tama sudah cocok menjadi dokter. Yaa, walaupun sebenarnya Tama sudah menjadi dokter. Tapi bagiku, Tama akan jauh lebih pantas jadi dokter saat spesialis ortopedi dan traumatologi itu ia raih dengan nilai sempurna.

Cekitt cekitt cekiiitt syuutttt... suara Tama mulai memompa dan mengamati pergerakan jarum di indikatornya. Stetoskop seperti nyaman nangkring di telinga Tama.

"Normal aja. 120/70. Ternyata masih sehat. Nggak perlu khawatir," suara velcro yang lepas menggetarkan gendang telingaku. Kkkraaakkkk... huh, lenganku rasanya seperti diremas kuat oleh serigala berekor sembilan. Sesak sekali.

Pandanganku kembali tertuju ke Tama, "jadi, cuma ini yang kamu kasih? Tensi, doang?" tagihku kurang sepadan. Gambar lebih awet dibandingkan dengan mengukur tensi. Sekali jadi selesai.

"Ya, itu yang aku bisa, Mel. Paling enggak, kan, aku bisa ngecek kesehatan kamu," masih saja aku pasang wajah cemberut. Bibir maju beberapa senti. Wajah paling jelek menurutku. "Oke, deh. Aku punya satu lagi buat kamu. Dijamin ini nggak bakalan hilang sampai lama. Awet banget," kata Tama senyum-senyum. Peralatan tensinya sudah rapi kembali ke dalam kantung.

Sekarang, Tama sudah berdiri di depanku. Karena posisi yang tidak etis, aku lantas berdiri mensejajari badan Tama. "Can I offer you a hug?" tawarnya padaku.

Gila. Tama benar-benar gila. "What?"

Belumselesai aku bertanya, kedua lengan kekarnya langsung meraihku dalam dekapannya.Wusss... angin menerpa pipiku lembab. Mungkin, sekarang tekanan darahku menjadi140/90 mmHg. Demi apa. Badanku panas.[]    

tbc..

Pain(t)ed HeartWhere stories live. Discover now