F Ü N F Z E H N

765 60 9
                                    

Dan disinilah aku, hanya bisa menatap kearah luar jendela dengan canggung. Tadi Calianda langsung menarik tangan Darren, hingga genggaman tangan Darren padaku terlepas.

Mengomeli Darren yang meninggalkannya, dengan suara merajuknya. Sedangkan aku hanya bisa termenung di tempatku berdiri. Dan seperti belum terbiasa, rasa sakit itu masih saja datang menghujam-ku di titik yang sama. Takdir seolah mempermainkanku, menyuruhku untuk tidur kembali dan menghadapi mimpi burukku.

Calianda, yang kutahu ialah mimpi burukku. Gadis masa kecil Darren, yang mungkin saat ini masih Darren sayangi.

Tapi bukankah Darren sudah berjanji ia akan berjuang untukku? Bukankah ia sudah berjanji untuk tak membuatku menangis? Aku hanya berharap Darren tak melupakan janjinya.

Aku masih terus memalingkan wajahku, mencoba terlihat seakan-akan aku sedang menikmati pemandangan di luar sana. Padahal nyatanya, fokusku sedang ada pada dua orang yang sedang mengobrol dengan serunya. Sedangkan aku, seperti makhluk tak kasat mata di dalam mobil ini.

Tadi saat akan memasuki mobil, Calianda langsung menerobos untuk duduk di depan. Sedangkan Darren, menatapku dengan tatapan matanya yang mengisyaratkan agar aku bersabar, dan membukakan pintu penumpang belakang untukku.

Setidaknya Darren masih memperhantikanku, mengurangi rasa khawatirku. Aku terus memandang pemandangan diluar sana, mengabaikan pembicaraan seru kedua orang di depanku. Aku mengerutkan keningku, melihat arah jalan yang dilalui mobil Darren tak seperti biasanya.

Jalan yang diambil Darren sangat asing bagiku, yang kutahu hanyalah ini jauh dari rumahku.
Aku menatap ke arah spion depan, ternyata Darren juga sedang memandang ke arahku. Aku memberinya tatapan bertanya, yang dibalasnya dengan kedipan matanya.

Aku yang tahu tak akan mendapat jawaban, akhirnya melanjutkan kegiatanku memandang pemandangan dari kaca di sampingku. Beberapa menit kemudian, mobil Darren berhenti di depan sebuah rumah bergaya minimalis.

"Kamu nggak mau mampir dulu?" Tanya Calianda pada Darren.

Dapat kusimpulkan bahwa, rumah di depanku adalah rumah Calianda.

"Nggak dulu deh kayaknya, masih harus nganterin si cantik di belakang." Darren mengucapkannya sambil mengerling ke arahku.

Aku hanya memalingkan wajahku, menyembunyikan pipiku yang lagi-lagi memanas. Rasa senang membuncah di dadaku, senang karena Darren mau menggombaliku di depan perempuan yang berarti untuknya.

"Oh, yaudah kalo gitu aku duluan ya." Aku memelototkan mataku, melihat Calianda mencium pipi Darren. Panas, itu yang saat ini kurasakan. Cemburu? Ya tentu saja.

Lalu Calianda menatap kearahku, dengan tatapan yang tak bisa ku deskripsikan.

"Duluan Caliandra." Ucapnya dengan senyum yang kutahu, tak sampai di matanya.

Aku merasa aneh dengan tatapan Calianda, padahal saat kami bertemu di depan bioskop. Ia terlihat biasa-biasa saja. Bahkan sangat ramah, tapi tadi Ia seperti mengeluarkan aura permusuhan untukku.

"Hey, cepat pindah disini. Aku tak mau terlihat seperti supir." Suara Darren membuyarkan lamunanku.

Aku membuka pintu di sampingku, dan pindah di sebelah Darren. Dan bukannya menjalankan mobil, Darren malah menatap intens ke arahku. Aku yang di tatap seperti itu oleh Darren, merasa risih.

"Kenapa?" Tanyaku padanya.

Ia hanya menggelengkan kepalanya, masih tersenyum. Lalu Ia mengulurkan tangannya, mengacak pelan rambutku. Dan yang Ia lakukan selanjutnya adalah, memajukan tubuhnya. Lebih tepatnya wajahnya, kearahku dan

WinterherzМесто, где живут истории. Откройте их для себя