N E U N

916 164 34
                                    

Aku masih terpaku di tempatku. Masih menatap punggung kedua orang itu yang perlahan mulai terlihat mengecil. Ya mimpi burukku sudah dimulai.

Mereka meninggalkanku dengan sejuta perasaan berkecamuk di dalam dadaku. Tapi, rasa SAKIT lah yang lebih mendominasinya.

Lalu mengapa tadi Darren memperlakukanku seperti itu? Mengapa tadi dia sangat lembut? Mengapa tadi dia seolah olah sangat peduli terhadapku? Apa aku yang terlalu geer? Ya memang aku yang terlalu bodoh, diperlakukan sedikit seperti itu saja sudah membuatku melayang, sampai lupa diri.

"Cal?" Panggil seseorang di sertai dengan tepukan kecil di bahuku.

"Eh, ya kenapa?" Jawabku membalikan badanku dan menemukan Eireen sedang menatapku dengan pandangan bingung.

"Ditungguin juga dari tadi, ngapain malah bengong disini?"

"Nggak papa, aku hanya sedang melihat mereka latihan basket." Jawabku sambil memandang sekumpulan pria yang sedang berebut sebuah bola.

"Lo nggak pandai buat boong sama gue," Ucap Eireen memicingkan matanya tidak percaya.

"Galena mana?" Tanyaku mencoba mengalihkan perhatian Eireen.

"Galena udah di jemput supirnya. Dan please Caliandra, jangan coba-coba buat ngalihin perhatian gue," Ucap Eireen dengan suara tajam.

Aku hanya bisa tersenyum sedih.

"Yaudah, aku bakal cerita tapi nggak disini Reen," Ucapku.

"Oke, kita ke taman belakang," Ucap Eireen lalu menarik lenganku, aku mengikuti setiap langkah Eireen dengan bahu yang terkulai lemas. Rasanya, aku sangat sungguh ingin menangis.

Saat ini aku dan Eireen sedang duduk di salah satu tempat duduk di taman belakang sekolah. Di tempat ini memang biasanya sepi, apalagi kalau sudah jam pulang sekolah.

"So?" Tanya Eireen langsung.

Aku menarik nafas panjang, lalu menceritakan kejadian tadi secara detail kepada Eireen.

"Reen, apa aku nyerah aja ya? Aku udah nggak sanggup." Ucapku disertai dengan cairan bening yang mulai keluar dari kedua mataku.

Eireen tidak mengucapkan apa-apa, ia hanya menarik kepalaku dan menyandarkan ke bahunya. Ia mengusap-ngusap bahuku, tanpa berbicara apa-apa.

Aku menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala sesak dan sakit di dalam dadaku. Saat tangisku mulai mereda, Eireen melepaskan pelukannya pada bahuku lalu menarik wajahku menghadap kearahnya.

"Gue udah pernah bilang kan, apapun keputusan lo gue bakal slalu ada buat lo. Tapi Cal, gue punya pertanyaan buat lo. Apa lo yakin bakal baik-baik aja buat nyerah padahal gue rasa lo udah mulai berhasil? Apa lo rela ngeliat Darren sama cewek lain? Hm?" Ucap Eireen menatap langsung pada manik mataku.

"Ak-aku nggak tau Reen, seberapa keras pun aku coba, seberapa lama pun aku tahan dengan sikapnya, seberapa lama pun aku bersabar. Tetep aja, kalau dalam suatu hubungan cuma satu pihak yang berjuang, buat apa? Setiap orang punya batas kesabarannya dan ini mungkin udah batasnya," Ujarku dengan tangisan yang mulai mereda.

"Atau mungkin belum," Ucap Eireen.

Aku memandangnya dengan bingung. Padahal dulu Eireen sering menyuruhku untuk berhenti saja, tapi kenapa sekarang disaat aku memutuskan untuk menyerah, mengapa ia melarangnya?

"Lo udah hampir berhasil Cal, lo udah perlahan-lahan cairin hati nya Darren, gue tau lo belum mau nyerah kan? Ini mungkin hanya emosi sesaat lo Cal. Tapi, apapun keputusan lo jangan pernah takut, gue sama Galena slalu bakalan ada buat lo."

WinterherzWo Geschichten leben. Entdecke jetzt