D R E I Z E H N

832 85 24
                                    

Saat aku memberikan jawabanku, Darren secepat mungkin berdiri dan langsung memelukku dengan sangat erat.

Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali, sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Aku hanya bisa terdiam didalam pelukan hangatnya, namun bibirku tersungging dengan begitu lebarnya, merasa sangat bahagia atas perlakuannya.

Tapi masalah kami belum sepenuhnya selesai. Aku merenggangkan pelukan Darren. Membuat Darren menatapku dengan pandangan bertanya.

"Darren?" Panggilku.

"Ya Caliandra?" Ucapnya sambil mengulurkan tangannya merapikan rambutku, menyelipkannya ke belakang telingaku.

"Lalu bagaimana dengan Calianda? Bu-bukankah dia adalah cinta pertama mu? Bagaimana dengan perasaanmu kepadanya?" Tanyaku dengan ragu.

"Hey, bukankah sudah kukatakan bahwa hatiku sekarang adalah milikmu. Ya, dia memang cinta pertamaku, tapi cinta pertama tidak selamanya menjadi cinta terakhir bukan?" Darren bertanya padaku, sambil menaruh kedua telapak tangannya di pipiku, lalu mengusap-nya lembut.

Aku mengangguk pelan, sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi.

"Jadi apalagi yang harus kau ragukan, hm?"

Aku hanya diam, pikiranku mendadak kosong.

"Tapi aku mohon untuk saat ini, kau harus berasabar." Ucapnya.

"Sabar untuk apa?"

"Mungkin aku masih akan dekat dengan Calianda. Tapi aku janji, takkan sedekat dulu. Aku akan menjelaskannya perlahan-lahan, karena Calianda mempunyai fisik yang lemah. Dia butuh seseorang untuk menjaganya, dan aku sahabatnya dari kecil akulah yang biasa menjaganya. Kau tak apa kan? Tapi aku janji akan menjaga jarak dengannya." Darren mengatakan semuanya secara hati-hati.

Aku menghela nafas panjang.

"Baiklah, aku mengerti," Ujarku lalu tersenyum lembut, aku juga tidak ingin menghancurkan persahabatan mereka. Senyumanku pun menular pada Darren.

"Syukurlah aku tidak kehilangan senyuman mu itu. Ah, aku tidak tahu harus bagaimana, kalau aku sampai tidak bisa mendapatkan senyuman mu itu." Ucapan Darren, membuat pipiku memanas.

"Ah, aku juga suka saat pipimu memerah seperti ini." Ia mencubit kedua pipiku.

"Aishhh, Darren berhentilah berbicara seperti itu. Ka-kau terlihat seperti bukan Darren." Ucapku mengusap bekas pipiku yang dicubitnya.

Dia mengangkat sebelah alisnya. Yap, ini baru Darren.

"Jadi kau mau aku menjadi dingin kembali, hm?" Tanyanya datar. Membuatku panik sendiri.

"Ti-tidak.... bukan begitu. Maksudku, aku menyukai kau yang seperti tadi, hanya saja aku masih belum terbiasa." Aku menundukkan kepalaku, menatap sandalku yang terlihat sangat menarik saat ini.

"Kau harus mulai terbiasa, karena kedepannya aku akan terus seperti ini. Mengerti?"

Aku menganggukkan kepalaku, tanda mengerti.
Ia mengacak rambutku dengan lembut. Yang kubalas dengan dengusan kesal. Ia hanya terkekeh.

Dengusan ku berganti dengan senyuman lebar. Aku bahagia saat ini, perjuanganku membuahkan hasil saat ini. Aku tahu, perjalanan kedepannya masih sangat panjang. Tapi setidaknya, aku tahu bahwa kedepannya bukan cuma aku yang akan berjuang sendirian.

Sekarang, ada Darren. Semuanya menjadi seimbang. Semuanya menjadi lebih kuat.

⇨⇨⇨⇨⇨

Mobil Darren berhenti di depan gerbang rumahku. Aku baru sadar, aku sudah terlalu lama berada di taman. Mama pasti sudah menghawatirkan ku.

WinterherzWhere stories live. Discover now