E L F

883 132 27
                                    

Setelah tangisku benar-benar berhenti, Darren melepaskan pelukannya. Hal berikutnya yang ia lakukan adalah, menggenggam tanganku dengan lembut, lalu membawaku menuju mobilnya. Eh mobilnya? Bukankah tadi ia menggunakan motor? Ah sudahlah, hal itu tidak penting sekarang ini.

Untuk pertama kalinya ia membukakan pintu untukku. Awalnya ada sesuatu yang membuncah dalam dadaku. Namun, memikirkan ia melakukan hal yang sama kepada Calianda, membuat rasa itu menguap begitu saja.

Setelah memastikan aku sudah duduk, ia memutari pintu mobil dan mengambil tempat duduk di belakang stir.

Aku hanya diam membisu. Lebih kepada malu dengan penampilan ku yang tambah kacau saat ini. Fix, aku sudah seperti orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa. Poor me.

Mobil Darren berhenti di sebuah taman. Dan taman mengingatkanku akan perkataannya, bahwa ia tidak memiliki rasa apa-apa kepadaku. Rasanya aku ingin menangis lagi. Aku sudah lelah, sungguh teramat lelah.

"Cal." Panggilan serta tepukan kecil di bahuku membuyarkan lamunanku.

Aku berusaha sekuat tenaga menahan air mata mengalir dari mataku, untuk yang ke sekian kalinya. Aku benar-benar cengeng.

"Hm." Gumamku.

Aku mendengar ia menarik nafas panjang. Lalu terdengar pintu mobil dari sebelahnya terbuka. Melihat ia yang turun dari mobil, aku pun ikut turun juga.

Aku menatap taman di hadapanku, lalu menatap Darren yang ada di sebelahku yang ternyata sedang memperhatikanku.

"Kenapa kamu mengajakku kemari?" Tanyaku dengan suara serak.

Ia hanya tersenyum kecil dan menarik tanganku kembali. Aku berasa diriku seperti kambing, jika ia terus menerus menarikku seperti ini.

Ia menarikku duduk di salah satu bangku taman. Lalu memandangku dengan tatapan lembut yang sedari tadi terus ia lemparkan kepadaku.

Mungkin kalau keadaan kami tidak seperti ini, aku sudah meleleh dari tadi. Tapi untuk kali ini aku mengeraskan hatiku. Walaupun Eireen dan Mama menyuruhku untuk tetap berjuang, namun aku yang menjalani semua ini.

Bukan mereka yang merasakan sakit. Bukan mereka yang menanggung sakit ini. Aku sudah lelah. Aku sudah terlalu lelah.

"Ada yang ingin ku bicarakan." Katanya lalu mengambil kedua tanganku dan menggenggam kedua tanganku.

Aku hanya membiarkan semuanya perlakuannya padaku. Mungkin, ia melakukan semua ini hanya karena kasihan. Mungkin, ini hanya untuk memberikan kesan baik di akhir perpisahan kami.

"Caliandra?" Pertama kalinya ia memanggi namaku dengan sangat lembut. Terdengar begitu indah di telingaku.

Oke, cukup! Jangan langsung terlena Caliandra. Ingat, ini hanya karena kasihan.

Aku mengontrol detak jantungku yang sedang berdentum dengan kerasnya di dalam sana. Aku hanya menatap wajahnya, tanpa menjawab panggilannya.

"Kamu tahu awalnya aku tidak bersungguh-sungguh dengan perkataanku bahwa kamu itu pacarku. Kamu juga pasti tahu, aku hanya melakukan itu agar para gadis itu berhenti menggangguku," ujarnya. Ya aku tahu, sangat tau.

"Tapi sebelum itu aku ingin membuat pengakuan kepadamu." Aku menatapnya dengan kening berkerut.

Ia mengusap dahiku menghilangkan kerutan itu.

"Jangan terlalu banyak berpikir, kamu hanya cukup mendengarkanku." Ucapnya. Aku hanya terdiam.

"Sebenarnya, pagi itu entah mengapa aku melakukan hal gila tersebut. Tapi aku tidak bisa mengontrol diriku yang langsung turun dari atas motorku lalu menarik lenganmu lalu mengungumkan bahwa kamu adalah pacarku. Aku juga sebenarnya terkejut dengan semua tindakanku. Entah kenapa, melihat mu berjalan dengan cueknya menimbulkan suatu perasaan yang bahkan tidak ku mengerti." Ucapnya lagi. Nah, kalau yang ini aku baru tahu.

WinterherzWhere stories live. Discover now