18

732K 40.4K 381
                                    



"Iya, Adiba yang katanya anak kelas sepuluh itu, lho."

Aku menatap dengan sinis dua siswi yang baru saja lewat di depanku. Aku yakin, dia tidak mengenalku. Seandainya saja mereka mengenaliku, mereka pasti akan menatapku.

Sekarang koridor mulai agak sepi. Aku menatap sekelilingku, tak ada satu pun siswa yang kukenal. Sebenarnya aku lari dari Agam karena sebelum bel pulang sekolah, dia sudah mengirimiku sebuah pesan untuk menunggunya di parkiran sekolah. Enak saja. Aku tidak mau menjadi bahan pembicaraan lagi. Aku juga tidak peduli dengan perkataan Papa malam itu. Apa Papa tahu Agam perokok ya? Entahlah.

Aku berdiri di koridor hanya memikirkan bagaimana caranya keluar dari sekolah ini tanpa lewat gerbang utama. Kutolehkan kepalaku ke kiri dan, "Mampus!" Aku menepuk jidat saat kulihat Agam memerhatikanku dari jarak yang tak jauh dariku.

"Adiba!"

Astaga. Aku seperti menghindari setan. Setannya itu Agam.

Sebenarnya, tujuanku untuk menghindari Agam bukan untuk lari darinya, tetapi aku sedang mencari keberadaan Ghali dan aku tidak menemukan cowok itu di sekolah. Seperti yang Lia bilang, Ghali bisa saja tak jauh dari sekolah ini.

"Adiba Ayudia!"

Oke. Nadanya datar tapi... aku seperti mendengar Papa sedang marah padaku. Papa seperti itu jika sedang kesal terhadapku, dia akan memanggil nama lengkapku.

Apa Agam marah?

Aku menggeleng-geleng. Pasti cowok itu tidak mau menyia-nyiakan waktu hanya untuk mengejar upik abu sepertiku.

Tak ada tanda-tanda suara orang berjalan lagi. Aku menoleh dan benar saja, Agam tidak mengikutiku. Syukurlah!

Buk

"Berengsek!"

Mataku membelalak saat melihat kejadian langsung tak jauh dariku. Aku tidak mau pingsan untuk yang kedua kalinya.

"Mau kalian apa?" Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi saat melihat adegan demi adegan di depanku. Lima lawan satu. Dan Ghali hanya sendiri. "JAWAB!" Aku tersentak kaget mendengar suara Ghali. Kulihat lima siswa itu menyerang Ghali yang hanya sendiri. Ghali terjatuh di tanah. Kemeja sekolahnya kotor, tasnya sudah tergeletak jauh, raut marahnya jelas kelihatan. Aku meneguk ludah, uuntung tak ada darah yang kulihat.

Ghali berdiri. Dia menatap salah satu siswa itu. "Mau lo apa? Hah?" nada suaranya lebih rendah dari sebelumnya. Kulihat telunjuknya ia arahkan ke depan muka siswa itu, siswa itu menepisnya dengan kasar.

"Kasih tahu temen lo si Agam itu, jangan buat banyak aturan di sekolah ini. Lo tahu? Gara-gara dia, gue dan yang lainnya hampir di DO."

Agam? Jantungku berdegup kencang. Ada hubungan apa Agam dan Ghali?

Ghali tertawa sinis. "Itu alesan lo?" Raut Ghali benar-benar kesal. Kulihat dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Terus kenapa kalian malah mukul gue, bukan mukul Agam?"

Aku tak mendengar jawaban apapun. Lalu, tawa sinis dari Ghali membuatku takut. "Karena dia Ketua OSIS? Karena dia berpengaruh di Bakti Mulya? Karena gue cuma siswa dengan prestasi nol yang kerjaannya cuma berantem di sekolah?"

"Karena lo temennya Agam!"

"Berengsek!"

Buk

"Argh!" Aku berteriak refleks. Tidak mau melihat adegan di mana Ghali memukul salah satu atau bahkan semua siswa itu. Aku tersadar dengan apa yang kulakukan. Perlahan kudongakkan kepalaku untuk melihat apa yang terjadi.

"Lo lagi!" teriaknya. Aku tidak tahu apa yang terjadi tadi. Tetapi, saat aku melihat siswa itu, dia masih tetap pada posisinya dan kerah kemejanya ditarik oleh Ghali. Ghali menurunkan tangannya dan menatap siswa-siswa di depannya satu per satu. "Urusan kita semua belum selesai." Pandangan Ghali beralih menatapku. Dia mengambil tas yang terletak tak jauh darinya lalu berjalan ke arahku.

"Mau lo apa?"

"A—" Aku tidak bisa meneruskan kata-kataku. Dia jelas marah.

"Ck, ikut gue!" Dan pergelangan tanganku dia tarik. Aku ternyata dibawa untuk duduk di koridor lantai bawah bagian kelas X. Dia duduk duluan sambil matanya memandang lurus ke depan. "Mau lo apa?"

Aku duduk di sampingnya, dengan mengambil jarak setidaknya semeter. Sebenarnya, tujuanku hingga tiba di belakang sekolah adalah untuk lari dari Agam, tetapi justru aku bertemu dengan Ghali. Memang tujuan lainku adalah bertemu dengan Ghali. Aku menghela napas. Semuanya seolah-olah telah diatur.

"Masalah berkas-berkas waktu itu yang gue pegang, lo—"

"Udah gue buang," potongnya cepat.

"Bu Sri nyariin, Kak."

Dia menengok ke kanan untuk menatapku. Aku menunduk dalam-dalam. Takut berhadapan dengan dia. "Ada yang salah dengan datanya. Besok baru gue kasih Bu Sri yang benernya."

Syukurlah. Aku menghela napas pelan. "Tapi Kak, lo kenapa nggak infoin ke Ibu?"

"Lo kenapa ngatur-ngatur gue?" Nada suaranya terdengar kesal. Aku tambah kikuk.

"Bu Sri kewalahan nyari, Kak."

"Ck." Dia berdecak. "Udah deh. Yang jelasnya berkas itu udah gue kumpul besok," lanjutnya.

"Ooh." Aku mengangguk. "Ya udah, Kak. Gue mau pulang dulu," kataku. Aku meliriknya yang ternyata tidak merespon apa-apa. "Salam buat Lia ya, Kak?"

"Hm," gumamnya pelan. Aku mulai berdiri, melangkah hingga beberapa meter di depannya, tetapi aku tak mendengar perkataannya lagi. Antara menoleh dan tidak, aku dilema. Tetapi, untuk apa?

Kubiarkan kakiku melangkah... jauh. Hingga aku benar-benar tidak ada di depannya.


thanks for reading!

love,

sirhayani

True StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang