2. One Call Away

207K 9.7K 563
                                    

"Stop!! Focus, Angel! Focus! Kau tahu telah berapa nada yang kau lewatkan?" ucapan tegas Helena menghentikan jemari Angel yang menari-nari di atas tuts piano.

Angel hanya bisa menundukkan wajahnya karena memang benar apa yang diucapkan Helena -wanita berusia lima puluh tahunan yang menjadi kini menyandang gelar sebagai mentornya. Dulunya Helena adalah seorang pianis kenamaan dunia, jadi sudah pasti, nada yang tidak pas bisa langsung tertangkap oleh pendengarannya yang masih tajam meskipun usianya sudah menua.

"Konser yang akan kau gelar empat hari lagi bukanlah konser main-main. Dan uang yang digunakan untuk membeli ticket konsermu bisa digunakan untuk memberi makan seratus anak yatim. Jadi tolonglah, jangan kecewakan para penggemarmu...," nasehat Helena lagi. Yang sukses membuat Angel menggigit bibir bawahnya.

Semuanya benar, seharusya ia bisa melakukan lebih baik daripada ini. Seharusnya seorang Angel Neiva Stevano bisa membuat semua orang terpikat pada alunan melody yang dibawakannya. Tetapi kenapa? Semakin mendekati konser besar pertamanya, semakin hilang keterampilan yang dimilikinya. Rasanya ia benar-benar ingin menangis kencang saat ini, menumpahkan segala rasa takut di hatinya.

"Kau mungkin memiliki masalah?" tanya wanita paruh baya itu sembari mendekat kearah Angel dan berdiri di sampingnya. Tangannya meraih jemari Angel yang masih terkulai lemas di atas tuts pianonya. Sepertinya Helena telah sadar dengan apa yang ia lakukan barusan, karena Helena adalah salah satu dari sekian orang yang mengerti jika untuk menghadapi Angel tidak bisa dengan emosi apalagi sentakan.

"Angel?" tanya Helena lagi. Kali ini wanita itu memilih untuk menyeret sebuah kursi untuk duduk di sebelah Angel.

"Aku tahu ini konser besar pertamamu dan kau pastinya akan sangat gugup...," ucap Helena pelan. Berusaha memberikan pengertian pada Angel dengan cara baik-baik.

"Tapi sebisa mungkin kontrol dirimu. Dan maafkan aku jika cara mengajarku terlalu keras untukmu...," tambah Helena yang langsung membuat Angel menggeleng keras.

"Tidak, cara mengajarmu bagus. Aku saja yang terlalu payah...," ucap Angel sembari menatap Helena dengan mata biru terangnya.

"Aku--"

"Tidak Angel, kau tidak payah. Kau murid terbaik yang aku miliki. Tapi mungkin kita harus mengambil waktu beristirahat menjelang konsermu, aku pikir kau membutuhkan sedikit waktu untuk merilekskan diri...," ucap Helena sembari menepuk punggung Angel dan berdiri.

"Lebih baik, hari-hari menjelang konser kau gunakan saja untuk bersantai. Kau mungkin sering mengadakan konser, tetapi tidak sebesar konser kali ini. Mungkin hal itu yang membuatmu sangat gugup hingga membuatmu melupakan semua teknikmu...," ucap Helena lagi,

"Tapi jika aku tidak berlatih bukankah hasilnya akan semakin buruk?" ucap Angel tidak terima. Bagaimana jika dia melupakan semua nadanya jika ia tidak berlatih? Demi Tuhan... Angel tidak mau itu terjadi. Bisa-bisa nama besar yang telah dibangunnya dari bawah bisa lenyap begitu saja.

"Kau pianis yang hebat. Kau hanya gugup.. percaya padaku, saat kegugupanmu hilang kau akan baik-baik saja.." ucap Helena sembari mengambil tasnya di atas meja yang terletak sudut ruangan.

"Aku pulang dulu... Ingat pesanku, kau hanya butuh rileks Angel..." ucap Helena sebelum melangkah keluar dari gedung studio. Meninggalkan Angel yang tetap duduk termenung di depan grand piano putihnya.

"Pianis hebat? Jika saja aku tidak menyandang nama Stevano, aku yakin kau akan mengatakan aku sangat-sangat tidak berbakat," Kekeh Angel menertawakan dirinya sendiri sepeninggal Helena.

Angel tahu siapa dirinya.

Semua orang selalu memujinya, semua orang selalu mengatakan dirinya berbakat dalam banyak hal. Tetapi Angel sama sekali tidak yakin ucapan semua orang itu tulus atau tidak. Nama besar keluarganya yang sudah jelas diketahui semua orang membuat Angel merasakan keraguan.

Fragile Heart✅ [STEVANO#3]Where stories live. Discover now