12. Sampaikan Rinduku, Hujan

Mulai dari awal
                                    

"Aduh, kamu ini. Ya, kalau nggak tahu, sekarang aku kasih tahu," Tama mulai berkisah tentang mantan pacarnya yang kini sudah meninggal dunia.

"Yunda suka sekali dengan Jepang. Apapun yang berhubungan dengan Jepang, ia pasti suka. Yunda juga suka gambar. Sama seperti kamu. Tapi lebih suka dengan gambar-gambar anime khas Jepang. Pernah aku tanya, 'kenapa nggak coba ngelukis di kanvas?' katanya itu sulit banget. Melukis itu baginya punya kesakralan tersendiri. Dan Yunda merasa nggak mampu untuk membuatnya," ada selaput basah tebal mulai muncul di kedua mata Tama. Baru kali ini aku melihatnya selemah ini.

Aku ingat, sebelum pergi aku sempat mengantungi beberapa lembar tisu tarik dari ruang tamu, "nih, nggak lucu kalau seorang dokter nangis karena hal yang sering ia temui," serius.

Tawanya lantas terdengar, "hahaha.. benar juga. Ngomong-ngomong tisu ini udak kena keringat kamu, belum?"

"Belum, tapi udah kena ingus. Ah.. pakai tanya lagi, masih bersih, Raib," suaraku kalah kencang dengan suara air hujan yang menghantam atap pos. sedikit berteriak, lumayan menguras energi.

Tama menghapus aliran air matanya di sekitar area pipi. Sebenarnya tidak menangis meraung-raung, sih, tisuku basah kuyub mendapat cipratan air hujan yang masuk dari pos, "itu tandanya, kamu hebat, Mel," lanjutnya lagi.

Karena terlalu lama berganti topik pembicaraan, aku lupa tentang apa yang sedang kami bicarakan, "apanya?" tanyaku polos.

Gawat. Mungkin ini efek otakku yang tak lagi digunakan untuk berpikir di sekolah. Menakutkan jika IQ di atas rata-rataku mengalami kemunduran secara bertahap, "kayaknya kamu butuh guru privat, deh. Aaaaagggghhh... Imel. Please, deh," hampir habis kesabaran Tama menghadapiku.

"Huhh! Mau bagaimana lagi. Aku sudah tak sekolah hampir empat bulan. Beku, nih, yang di dalam," kutunjuk-tunjuk pelipisku. Frustasi.

Sudah hampir sepuluh menit hujan belum reda juga. Aku takut kalau sampai hujan tidak reda juga sampai larut malam. "Pokoknya, kalau sampai jam sepuluh nggak reda-reda juga, nih, hujan, masa bodo kalau besok kena flu," ancamku keras. Entahlah aku tujukan ke siapa.

"Jangan ngancam Tuhan," ingat Tama. Tangannya ia sodorkan untuk mengecek kadar derasnya hujan di luar. Sesekali ia kibas pelan-pelan pergelangan tangannya.

Aku melotot, "siapa juga yang ngancam Tuhan," jawabku.

"Itu, tadi?" serang Tama lagi dan lagi. "Udah-udah, selasai. Tadi maksud aku, kamu itu hebat. Bisa ngelukis sebagus itu. Bisa dibilang, kamu itu udah calonnya buat jadi pelukis hebat," perjelas Tama.

Pelukis hebat? "dari orang yang putus sekolah? Apa bisa?" kupandang lekat-lekat rintikan air hujan yang mulai melemah. Syukurlah, sebentar lagi pasti reda.

"Kamu nggak sekolah itu karena kamu sendiri yang nggak mau sekolah. Nggak pantas kamu menyalahkan satu pihak. Hadap kaca, tanya sama bayangan kamu. Kamu mau apa," capek juga diam. Aku berdiri dari tempat kami duduk. Mendekat ke arah pintu masuk pos.

"Jangan dipendam. Sampaikan saja sama hujan. Mumpung masih lumayan lebat," kembali Tama berseru tak jelas.

Seakan tahu aku bingung, "kamu kangen, kan? Cepetan, sampaikan ke hujan," tiga puluh menit berlalu tapi hujan masih juga turun. Bahkan kembali deras.

"Yunda pernah bercerita, ibunya itu orang Jepang. Setiap malam, Yunda selalu mendapat dongeng-dongeng klasik Jepang pengantar tidur dari ibunya," bukan hanya Yunda, aku juga, Raib. "Dan.. satu minggu sebelum ia meninggal, ia bercerita tentang salah satu dongeng ibunya, yang hingga akhir hayatnya, Yunda percaya itu.

Pain(t)ed HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang