Lightweight #33

2.6K 96 4
                                    

"Phoebe? Baby, apakah kau baik baik saja? Apakah kau selamat sampai rumah? Apakah salju malam ini membuatmu membeku? Demi Tuhan aku sangat mengkhawatirkanmu. Mari bicarakan ini baik baik."

Hanya itu di voice mail pertama, aku menghembuskan nafas gugup ketika aku ingin membuka voice mail yang lainnya.

"Ku pikir kita ini sangat lucu bukan? Bagaimana kemarin kita masih melewati hari bersama, bahagia seperti diatas awan. Tapi lihat sekarang, kita berdua jatuh terperosot hingga ke dalam tanah," Dia berhenti hanya untuk mengambil nafas panjang, kurasa. Aku menunggu kata katanya lagi dengan perasaan gusar.

"Ku akui memang aku memiliki niat buruk ketika pertama kali melihatmu. Tapi setelah menghabiskan banyak waktu denganmu, itu semua sudah tidak terpikirkan olehku. Aku malah ingin melindungimu, membuatmu bahagia. Kau tahu, menghabiskan waktu bersamamu dan melihatmu tertawa hingga menyentuh matamu adalah sebuah kebahagian yang nyata bagiku. Kau sangat berarti Phoebe--aku tidak tahu dari mana ini berasal. Demi Tuhan, semua yang aku lakukan dan katakan padamu selama ini bukanlah sebuah kebohongan.. Maafkan aku Phoebe."

"Omong kosong." Desisku dengan tawa sumbang yang dibarengi tetesan air mata yang jatuh begitu saja dari pelupuk mataku.

Dasar bodoh.

"Kau tidak membalasnya? Aku menunggumu disini Phoebe. Tolong jangan seperti ini. Kau membawaku kedalam neraka jika seperti ini, kau tahu itu kan? Aku membutuhkanmu. Aku butuh melihatmu, aku butuh mendengar suaramu. Aku butuh maaf darimu baby, aku brengsek aku tahu itu. Phoebe. Ku mohon....-Phoebe. Ku mohon. Bawa aku keluar dari neraka ini karena aku tidak sanggup jika tidak berada di dekatmu...--"

Aku menutup mataku dan kedua telingaku karena aku tidak sanggup mendengar suaranya. Hati ku mencolos ketika aku tahu bahwa ia sedang mabuk. Suaranya meracau. Kentara sekali ia sedang sedih, kecewa, kehilangan. Aku tidak tahu apa tepatnya. Tapi aku sangat bisa merasakannya. Dia terdengar begitu.....memilukan.
Aku tidak sanggup, sungguh.
Tapi kulihat masih tersisa satu voice mail lagi yang baru dikirim 1 hari yang lalu.

Menenangkan diriku sendiri untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku dengan nafas berat mendengarkan voice mail terakhir ini.

"Hari ini aku melihatmu dari kejauhan, baby. Aku melihat betapa giatnya kau bekerja. Ini lucu karena kita begitu dekat namun terasa begitu jauh. Aku bahkan merasa iri dengan pelanggan yang kau layani karena mereka bisa melihatmu, merasakan hembusan hangat nafasmu dari dekat. Semua yang ingin aku katakan adalah, aku merindukanmu...."

Aku diam tidak bergeming sedikitpun kecuali mengeluarkan hembusan nafas kasar. Ku biarkan ponselku terjatuh tepat disamping kepalaku. Ku kedipkan mataku beberapa kali sebelum ku pusatkan pengelihatanku ke langit langit.

Saat ini aku tidak merasakan apapun kecuali kekosongan di dalam jiwaku semakin menganga lebar. Jujur saja aku sedang mengutuki diriku yang bodoh ini karena aku tidak bisa mendeskripsikan keadaanku, tidak tahu apa yang harus ku rasakan atau ku lakukan.

Aku frustasi karena tidak bisa menyelaraskan antara otak dan hatiku. Kau tahu, otakku selalu saja membisikkan kalau aku membencinya, kalau dia adalah seorang bajingan yang penuh dengan omong kosong, kalau dia sudah menghancurkanku, tapi hatiku malah berteriak sebaliknya. Hatiku berbisik kalau aku sudah memaafkannya, kalau aku juga merindukannya. Bahkan yang lebih tidak masuk akal, aku....-- aku tidak yakin dengan yang satu itu.

Lagi, kurasakan getaran yang begitu kentara dari salah satu samping kepalaku. Dengan cepat ku ambil ponselku dan melihat ada satu voice mail baru dari Marco.

Aku menjalarkan jariku untuk memutarnya.

"Hi," sapa nya singkat sebelum beberapa detik kemudian terdengar suara petikan gitar dari sebrang sana.

Lightweight [Completed]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon