Lightweight #32

2.7K 95 2
                                    

------Marco's POV------

Dunia ku seakan runtuh ketika Phoebe berjalan melewatiku dengan air mata yang begitu deras mengaliri pipi pucatnya malam itu.
Aku tahu bahwa saat ini Phoebe lah yang paling tersakiti. Aku sangat tahu itu.
Tapi entah mengapa, ketika ia berjalan meninggalkanku sendiri bersama tubuh si bajingan Connor yang babak belur itu membuat hati ku merasa hancur. Jantungku seakan bekerja lebih cepat seribu kali lipat dari biasanya, seolah olah dia membawa separuh jiwa ku pergi ikut bersamanya.

Aku ingin sekali menahannya untuk mendengarkan penjelasanku terlebih dulu. Tapi aku tahu itu akan lebih menyakiti perasaannya karena apa yang sudah dikatakan oleh Connor padanya adalah sebuah kebenaran.

Aku tidak memungkiri bahwa ini semua adalah murni kesalahanku, kebodohanku yang tidak bisa dimaafkan. Jelas sekali bahwa semua wanita diseluruh muka bumi ini tidak ada yang pantas diperlakukan seperti apa yang telah aku lakukan.
Atau mungkin Phoebe adalah salah satu wanita didunia ini yang tidak pantas mendapatkan perlakukan buruk dari semua bajingan seperti ku.

Aku benar benar marah pada diriku sendiri atas kebodohan dan ke-brengsek-kan ku.
Jika Phoebe menyuruhku untuk memecahkan kepalaku sendiri untuk bisa mendapatkan maaf darinya, akan kulakukan. Demi Tuhan akan ku lakukan apapun untuk menebus semua rasa sakit dan kekecewaan yang telah ku perbuat. Tapi aku tahu bahwa itu semua tidak berarti. Jika aku saat ini mati pun, aku atau apapun di dunia ini tidak akan ada yang bisa menghapus apa yang ia rasakan saat ini.

Ponselku berdering disudut meja ketika aku sibuk memijat pelipisku yang terasa pening.

"FINN!!" Teriakku langsung.

"Whoa, easy man. Tidak perlu berteriak pun aku bisa mendengarmu."
Aku lebih memilih membuang nafasku kasar dari pada menjawab kalimatnya yang tidak penting.

"Connor masih kritis disini bung. Aku penasaran, apa yang sudah kau lakukan padanya?" Tanya nya tenang.

"Harusnya dia bersyukur karena aku tidak mencongkel keluar jantungnya hidup hidup. Jangan hubungi aku lagi kecuali dia sudah mati." Sergahku, langsung memutuskan sambungan panggilannya lalu melempar ponselku kearah sofa yang tak jauh dari sekitarku.

Lagi, aku menengguk botol alkohol yang sudah beberapa belakangan hari ini menjadi teman untuk melewati setiap menit yang sangat suram. Ku rasakan panas yang teramat ketika cairan itu melewati tenggorokkan dan berakhir di perutku.

Aku menjatuhkan gelas kecil yang sedaritadi ku pegang kesembarang arah ketika kepalaku berdenyut dengan sangat hebat. Aku mengepalkan kedua tanganku kuat kuat, mencoba untuk menahan rasa sakit yang menyerang kepalaku.

Selang beberapa menit aku menundukkan kepalaku ketika rasa sakitnya sudah mulai memudar.

Mengangkat bokongku dari kursi meja makan, aku berjalan menuju sofa untuk mengambil ponsel yang berdering. Ku lihat nama Ayah tertera dilayar.

"Ada apa?" Kataku langsung.

"Tidak. Aku hanya ingin berbicara denganmu. Bukankah kau sedang liburan semester? Mengapa kau belum mengunjungiku?"

Aku membuang nafas sebelum menjawab pertanyaannya.
"Aku tidak tahu ayah."

Bisa ku tebak disebrang sana, dia sedang memikirkan apa yang terjadi padaku. Karena kusadari bahwa aku tidak bersemangat ketika menjawab panggillannya. Tidak seperti biasanya.

"Ada apa denganmu?"

"Tidak ada."

"Jangan berbohong. Kau sedang ada masalah? Tentang apa?" Cecarnya.

Lightweight [Completed]Where stories live. Discover now