"Lo apaan sih?" ujar Zidan sewot. "Orang gue ngomongnya sama Diska juga. Idih, GR lo, Deb."

           "Ah, lo semua berisik tau―"

           "Sikap! Beri salam!" Harya, si ketua kelas X IPA 7 berseru, karena Bu Tessi―Guru Biologi―baru saja melangkahkan kakinya masuk ke ruangan dimana Adiska berada.

            Alhasil, rasa penasaran Debby dan Zidan harus ditahan dulu sampai jam pelajaran usai. Hal inilah yang membuat perasaan Adiska sedikit lega. Pasalnya, ia tidak perlu menjelaskan kejadian tadi bersama Arai―kejadian yang membuatnya malas untuk diingat lagi.

            Tanpa Adiska ketahui, dibalik sebuah earphone dan perhatiannya pada ponsel, Recza justru mendengar penjelasan Adiska pada Debby dan Zidan dengan seksama. Cowok itu kini bisa menyimpulkan, bahwa Arai memang sedang berperan dalam drama buatannya.

-:-o-0-o-:-

            Recza berjalan sendirian menyusuri koridor yang membawanya menuju kantin. Pikirannya tidak bisa berhenti pada pembicaraan Adiska tadi.

            "Gue tadi ketemu Arai. Dia yang nolongin gue biar bisa masuk ke sini."

            Arai benar-benar serius rupanya dengan perkataannya saat latihan futsal beberapa waktu lalu. Mungkin inilah maksudnya―cowok itu berusaha mendekati Adiska dengan caranya sendiri, entah dalam tujuan apa Arai melakukan itu semua.

            Setengah perjalanan menuju kantin, sebuah tangan berhasil mendorong Recza cukup jauh, namun tidak sampai jatuh. Kawanan Arai yang membuat ulah―berdiri menghalangi koridor dengan maksud untuk mencegat Recza.

            "Akhirnya, ketemu juga sama ini bocah." Arai menyilangkan kedua tangannya di dada.

            "Kalo lo mau main-main sekarang, sorry, gue gak ada waktu." Recza mencoba menerobos jejeran kawanan itu. Akan tetapi pukulan Arai di wajahnya, berhasil membuat Recza untuk tetap di sana―berhadapan dengan Arai, Yoga juga Putra.

            "Lo mau kemana? Urusannya belum selesai," sewot Yoga yang berdiri di sebelah Arai.

            "Gak usah buru-buru gitu, dong!" Suara Arai, seperti biasa terdengar arogan. "Gue ada urusan sama lo sekarang. Dan ini penting." Arai menekankan pembicaraannya saat ia bilang bahwa urusannya itu penting.

            Recza akhirnya menanggapi Arai dengan serius. Apa yang dikatakan penting oleh Arai, memang benar-benar penting. Tidak hanya penting, tapi juga serius. Cowok yang rambutnya dengan gaya acak-acakannya itu menatap Arai tajam.

            "Gue minta sama lo, lo gak usah ngasih tau Adis yang aneh-aneh," ujar Arai dengan nada suaranya yang agak berat.

            "Aneh-aneh gimana maksud lo?" Recza menautkan kedua alisnya.

            Arai meninggikan suaranya. "Gak usah pura-pura lo, kampret! Lo, kan, yang ngehasut si Adis dengan cara ngejelek-jelekin gue? Denger, gue minta sama lo, Za. Kalo lo emang benci sama gue, jangan ngajak orang lain juga buat benci ke gue. Biar Adis yang nganggep gue jelek karena dirinya sendiri, bukan karena pengaruh dari perkataan busuk lo."

            Recza mencengkram tangannya. "Lo emang benci sama gue, tapi bukan berarti lo nuduh gue gitu aja, Rai. Gue samasekali gak pernah ngehasut Diska! Lagipula, Diska gak semestinya bareng-bareng sama lo, karena lo pengaruh buruk buat dia."

            Arai langsung mencengkram kerah baju Recza saat omongan pedas Recza menyembur hingga masuk ke telinganya. "Katain sekali lagi, dan gue bakal bikin lo masuk ke rumah sakit sekarang juga!"

CounterpartWhere stories live. Discover now