part 10 - The Truth.

1.9K 340 13
                                    

Seorang wanita dengan rambut hitam yang mengenakan sebuah dress biru sedang menyesap tehnya ketika kedua anaknya datang. Dia langsung meletakkan cangkir tehnya di meja, dan bergegas menghampiri anak bungsunya, Harry.

Anne sudah tahu apa vonis dokter terhadap Harry, dan dia tidak ingin membicarakannya. Jadi dia langsung memeluk Harry erat, sama seperti yang dilakukan Gemma tadi di rumah sakit.

"Tenang saja, sayang. Kau pasti sembuh, pasti."
Anne mengelus punggung Harry perlahan, dan Harry menenggelamkan wajahnya di antara helaian rambut ibunya.

Tidak, jangan menangis. Jangan.

"Ya bu, kalau begitu aku istirahat dulu ya,"
Harry melepas pelukan mereka dengan perlahan, dan ibunya mengangguk.
"Semua barang dari apartemenmu sudah ada disana, beritahu aku jika kau butuh sesuatu," Anne tersenyum lembut pada Harry yang mulai berjalan menjauh, ke arah tangga. Lelaki itu menaiki tangga berbentuk spiral yang ada di rumahnya, sambil otaknya mengingat kembali memori-memori masa kecilnya. Harry sudah tinggal sendiri di apartemen sejak dia masuk SMA, dan di tahun seniorny ini dia terpaksa kembali ke rumahnya karena penyakitknya yang sangat mengkhawatirkan apabila dia tinggal sendiri.

Harry menatap sebuah pintu berwarna abu-abu, lalu mengelus permukaannya. Ada beberapa coretan krayon yang masih tidak bisa hilang disitu, dan ada tulisan Gem, Ed & Harold di pintu itu. Huruf Gemma yang masih berantakan ketika mereka masih kecil. Harry tersenyum kecil, nyaris tak terlihat. Setelah itu dia kembali berjalan menuju sebuah pintu berwarna hijau muda, kamarnya.

Barang-barangnya sudah diatur dengan rapi disana, dan sepertinya ibunya masih mengenal selera Harry dengan baik. Harry paling suka jika tempat tidurnya diletakkan di dekat jendela, apalagi jendela di kamar Harry berukuran medium, dan merupakan posisi yang strategis untuk menatap langit, baik itu langit siang maupun langit malam. Keuntungan berikut adalah Harry suka duduk di kusen jendela itu, membiarkan kakinya bergelantungan di ketinggian lantai dua. Dia berharap ukuran tubuhnya masih muat untuk melakukan hal itu.

Harry berjalan menuju tempat tidur dan menjatuhkan tubuhnya disana, lalu memejamkan mata. Dia memang kelelahan. Secara fisik, dan juga secara psikis. Siapa sih yang tidak akan stress jika mengetahui dia mengidap suatu penyakit berbahaya? Harry cukup pandai dalam hal ini. Dia menyimpan semua luka-luka dan perasaan sedih itu dalam hatinya, dan tidak membiarkan emosi menggambarkan perasaan itu. Harry tidur dengan wajah setenang malaikat, tapi hati dan pikiran sekacau cakaran pr matematikamu.

Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi membuat Harry melenguh, lalu dengan kesal mengambil benda persegi panjang yang dia taruh di saku itu.

Runa Blackburn is calling...

______________________________

Uhuy Runa nelepon tuh,
Sorry gantung coy !
Pendek bgt ya ?
Jangan lupa vomments dong -_-
Tp aku seneng udah 400-an reads, tp yg vote cman dikit -_- pls dong guys..
Btwbtw
Btwbtw
Btwbtw,
Ini pendek bgt ya ? Haha, sengaja blee :p
Becanda heheh, tu lanjutannya di bawah.. Vote dong ! Use your thumb!

_____________________________

Harry mengernyitkan kening ketika melihat rentetan kata itu di layar ponselnya. Tapi sedetik kemudian senyumannya langsung merekah. Dengan semangat '45 Harry pun mengangkat telefon Runa.

(A/N : Yang Italic itu Runa ya, terus yang normal itu Harry biar gampang :D)

"Halo Ru-"

"-Kau meninggalkanku."

"Hei, apa maksudmu?"

"Sudahlah, jangan banyak bicara lagi. Sebenarnya aku tidak ingin menelefonmu lagi. Tapi kenapa kau pergi, Harry?"

Nobody Except You [H.S]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang