Aku membelai rambutnya. Rambut keemasan yang serupa dengan milik Jamie tapi justru terlihat sangat manis untuk Shawn. Dia menatapku dengan mata hazel yang mulai menutup dan mengantuk. Pipinya gergerak-gerak karena dia terus menghisap Ibu jarinya.

"Hi..." aku tersenyum. "Kau tukang ngantuk ya?"

Dia memperhatikanku. Lalu tak lama melepas Ibu jarinya dari mulut dan memberiku senyum dengan bibir yang basah dengan saliva. Matanya masih setengah terbuka karena mengantuk.

Senyumku makin lebar, aku mengecup keningnya dan mengusap kepala balita itu.

"Kau manis sekali." Bisikku, terus mengusap punggunya setelah ku sandarkan kepalanya di leherku. Waktu itulah aku melihat Jamie di ambang pintu. Entah sejak kapan dia disana memperhatikan seperti penguntit. Aku langsung mengabaikannya dan kembali mengusap punggung Shawn yang sekarang makin pulas.
Dari sudut mataku bisa kulihat Jamie akhirnya berbalik dan kembali ke mobil, kurasa untuk mengambil barang-barang milikku yang tersisa di dalam trucknya.
Beberapa kali dia naik turun ke lantai atas, pintu depan terdengar di tutup dan dia kembali berdiri di depan pintu masuk ruang tengah ini sudah dengan kaus putih polos tipis dan celana khaki yang terlihat nyaman.

"Ku siapkan makan malam. Kau bisa taruh Shawn di kamarnya. Setelah naik tangga, belok ke kiri, Kamar paling sudut di sebelah kiri. Kalau kau ingin menyegarkan diri, pakaianmu ada di lemari di kamar sebrangnya." Jelasnya dan tanpa menunggu jawaban dari ku dia mulai berjalan ke arah lain. Kurasa dapur.

Aku menurut dan membawa Shawn ke kamarnya dengan sangat perlahan agar dia tidak terbangun. Berbelok ke arah kiri dan berjalan terus hingga menemukan kamar paling ujung seperti yang di instruksikan. Kamar penuh barang-barang bayi itu sudah pasti milik Shawn Kecil yang sekarang sudah tidak sadar lagi akan dunia nyata.

Aku meletakkan Shawn ke dalam box bayi, tidak lupa mencium keningnya sebelum pergi ke kamar sebrang yang kata Jamie ada pakaian bersih milikku disana.

Ku putar knob pintu itu dan mendorongnya terbuka.
Atmosfer nostalgia kembali menghantamku, sama seperti saat pertama kali aku melihat Shawn. Aku merasa kenal dengan tempat ini.

Tempat tidur di letakkan di depan membelakangi jendela yang sekarang tirai putihnya disingkap. Aroma kayu cemara sepertinya tercium di hampir setiap ruangan rumah, karena kamar ini pun juga punya aroma yang sama.

Di sebelah kanannya, lemari kayu besar tua yang terlihat antik merapat ke dinding yang berwarna abu-abu. Di sebelah kasur terdapat nightstand dan lampu meja yang terlihat normal dan biasa. Yang menarik perhatianku lagi-lagi adalah foto di dinding.

Ya, ada lebih banyak foto disini.
Kebanyakan adalah wajahku dan Jamie yang tersenyum ke kamera. Atau aku yang menyandar ke pundak laki-laki itu menatap ke kamera sedangkan Jamie melihatku dengan senyumnya yang selalu terlihat seperti sedang merencanakan sesuatu. Tampang yang selalu terlihat bengis bahkan di mimpiku dulu, adalah laki-laki paling di inginkan di sekolahku. Dia bahkan terkenal sampai ke kota sebelah karena partisipasinya di olahraga Rugby dan Sepak Bola sekolah. Dia mudah bersosialisasi dengan semua orang. Semua orang kecuali aku.

Aneh sekali sekarang saat melihat salah satu foto ini, saat Jamie terlihat merangkul pundakku atau aku yang mnyandarkan kepalaku ke pundaknya. Atau dia yang tidur di pangkuanku.

Foto-foto ini sepertinya sudah tergantung lama disini. Dan sama seperti di bawah tadi, ada foto yang tidak berada di tempatnya karena ada beberapa paku kosong di dinding.

Aku memperhatikan lama sebelum kehilangan rasa tertarikku dan pergi ke lemari untuk membukanya. Di sebelah kanan seluruhnya adalah pakaianku, sedangkan di sebelah kiri adalah milik Jamie. Aku menarik pakaian yang kurasa nyaman dan membawanya ke kamar mandi.

Chasing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang