BAB 43

2.8K 708 75
                                    

Matahari tengah panas-panasnya saat mobil yang Harun sekeluarga kendarai terparkir manis di halaman luas kediaman baru Gema yang kini tampak berbeda. Jauh dari penampakan tua seperti terakhir kali Aria datangi. Lantainya bukan lagi semen dan abu, melainkan marmer yang mengilat. Dinding putih bersih. Genteng mentereng dengan warna merah. Pun pilar batu yang disulap menjadi tampak begitu gagah dan tinggi. Kini bangunan tersebut sudah menjelma menjadi istana kecil yang siap dihuni.

Halaman yang semula tampak kering juga menjadi hijau dengan ditanami berbagai macam bunga. Sisi halaman di kelilingi pagar hidup, perpaduan melati dan bunga sepatu yang cantik. Pun pot-pot berukuran sedang yang diletakkan di setiap sisi undakan.

Aria terpukau. Ia bahkan sampai harus menutup mulut yang sedikit menganga. Ini seperti ... rumah impiannya. Andai saja ....

Ah, lupakan tentang rumah impian. Ini bukan saatnya untuk menyesali keadaan.

Menggeleng untuk menyingkirkan segala andai-andai, Aria menarik napas panjang seraya membuka pintu mobil dan keluar, menyusul yang lain.

Gema yang barangkali mendengar deru halus mobil dari halaman, membuka pintu ganda utama dan keluar, selayaknya tuan rumah yang ramah. Senyum lebar terulas dari bibir itu seiring dengan jawaban atas salam yang Harun tuturkan. Sedang Aria berusaha keras agar pandangan mereka tidak bertemu. Sama sekali. Ia masih terlalu malu atas kejadian kemarin.

“Apa yang Ibu bawa? Kenapa banyak sekali?” tanya lelaki itu sembari menerima dua kardus berukuran sedang dari Harun dan Harni dan meletakkan di pojok ruang depan. “Mari silakan masuk. Maaf kalau masih agak berantakan. Ternyata membereskan rumah bukan hal yang mudah dan butuh waktu.”

“Ini kamu sebut berantakan?” Harni menggeleng pelan. “Sudah sebagus ini, apalagi yang mesti dibereskan sih, Nak?” Wanita paruh baya yang sudah diperistri Harun selama lebih dari tiga puluh tahun itu masuk lebih dalam ke area rumah untuk melihat-lihat. Sudah ada beberapa perabot baru di sana, termasuk lemari partisi, lukisan abstrak dan televisi. Juga guci besar di pojok ruangan. Tak ada lagi penampakan genteng dari dalam, sebab ada plafon datar yang sudah terpasang apik di langit-langit.

“Area dapur masih kosong, Bu,” jawab Gema malu-malu. “Belum ada kabinet juga.”

“Pelan-pelan. Namanya juga rumah baru.” Harun yang menanggapi seraya menjatuhkan diri di salah satu sofa tunggal, diikuti oleh Amerta yang entah mengapa sejak tadi memilih diam, sama sekali tak bersuara.

Aria, gadis itu duduk di sebelah kakaknya sambil memainkan ponsel seolah sama sekali tak peduli dengan keadaan rumah Gema, mau seperti apa pun bentuknya.

“Omong-omong, berapa tamu undangan yang kamu undang nanti sore?” tanya Harni lagi sambil menyentuhkan tangan pada lukisan yang terpasang di dinding. “Ini sepertinya mahal,” komentar beliau bahkan sebelum Gema menjawab pertanyaan sebelumnya.

Dan Gema hanya tersenyum atas komentar tersebut. “Tidak banyak, Bu,” jawabnya kemudian, “hanya sekitar dua puluh lima orang.”

“Bagaimana dengan konsumsinya? Siapa yang masak?”

“Kebetulan saya pesan, bisa kewalahan kalau dilakukan sendiri.”

“Seharusnya kamu bilang Ibu, daripada pesan. Mahal. Sayang uangnya, mending ditabung, kan. Untuk renovasi rumah ini saja kamu sudah habis berapa coba?” Harni berpindah dari lukisan ke area lain untuk sekadar melihat-lihat, beliau bahkan sempat mengintip dua kamar di rumah itu yang ternyata sudah diisi oleh dipan, meja rias dan lemari. Hanya dapur yang belum sepenuhnya selesai.

“Saya tidak ingin merepotkan.”

Harni mengibaskan tangan ke udara. “Mana ada kata repot untuk anak.”

Bukan Lagi Tentang RasaWhere stories live. Discover now