BAB 27

3K 618 69
                                    

Mulai merenung dan perlahan mencoba untuk menerima, Aria kini malah menjadi bingung sendiri. Tidak tahu bagaimana harus bersikap ke depannya. Haruskah ia bertingkah biasa saja sebagaimana dirinya sehari-hari, atau menjadi lebih kalem?

Ugh, Aria benci ini. Keadaan dan perasaan membigungkan yang melanda kini. Ia jadi merasa serba salah sendiri.

Gelisah, gadis itu mondar-mandir di kamarnya dengan jendela yang dibiarkan tertutup. Sesekali ia akan mengintip ke luar, ke halaman samping yang memperlihatkan kamar Gema. Pintu di sana masih tertutup. Sang empunya sedang pergi ke luar dengan setelan caping kebanggaannya, entah untuk mencari rumput atau melihat proses penggarapan sawah. Seharusnya Aria tidak peduli, dan memang demikian. Hanya saja, ada hal yang ingin dibicarakan. Ya, ada. Sesuatu. Yang membuatnya gelisah kini. Tentang ... mmm, bagaimana Aria mengatakannya? Mengaku pada diri sendiri saja ia malu!

Menarik napas panjang, Aria embuskan karbon dioksida melalui mulut yang dikembungkan. Ia lalu mencoba tenang dan keluar dari kamar untuk membantu Harni memasak makan malam demi menghilangkan perasaan sialan ini. Gelisah tak keruan itu menyebalkan. Sungguh.

Namun siapa sangka, waktu yang tidak ditunggu selalu datang lebih cepat. Seperti saat ini, tahu-tahu adzan magrib sudah berkumandang dari masjid di ujung jalan. Suaranya terdengar dengan begitu jelas karena jarak cukup dekat.

Tebak siapa yang menjadi muadzin saat itu? Ya. Betul sekali. Si Gema. Berhasil membuat Aria tambah gulana.

Sebelumnya, Aria tak pernah mau peduli, tapi sekarang semua berbeda. Aria nyaris terkejut mendapati dirinya mendengarkan dengan takzim. Pun debar tak wajar yang terasa di balik dada cukup meresahkan.

Suara lelaki itu saat melantunkan adzan ternyata lumayan merdu untuk didengar. Padahal Aria sudah sering mendengarnya karena Gema memang memiliki jadwal adzan seminggu sekali, bahkan setiap bulan dia juga dipilih sebagai bilal untuk salat jumat. Pun tak jarang membaca quran ke mikrofon sehabis berjamaah subuh.

Ya. Ya. Ya. Dia memang calon imam impian banyak gadis di kampung ini. Tak heran kabar pertunangannya dengan Amerta disambut meriah oleh beberapa ayah yang ingin memiliki menantu seperti anak angkat Harun itu.

Lalu kabar susulan tentang perjodohannya dengan Aria menjadi kejutan lain, yang membuat gondok pun mengundang banyak cibiran. Tak sedikit orang menuduh Harun tidak rela melepas Gema sehingga memaksakan lelaki itu terhadap anak-anaknya. Padahal siapa yang memaksa? Gema justru yang paling bersikukuh.

Tetapi ya sudahlah. Memang sudah demikian kalau hidup bertetangga. Hampir semua yang dilakukan akan terlihat salah. Benar sekali pun, tetap akan ditemukan celah. Aria hanya harus menutup telinga dengan kedua tangannya setelah ini agar bisa hidup lebih damai.

Yakin tak yakin, semua akan menjadi lebih baik seiring dengan berjalannya waktu.

Usai membantu Harni memasak, Aria pergi untuk melakasanakan salat. Oh, tentu di rumah. Ia jarang sekali ikut berjamaah kecuali saat tarawih dan salat id. Juga momen-momen besar lain.

Seperti biasa, begitu para laki-laki pulang dari masjid, Harni mulai menata meja makan dan berteriak memanggilnya. Dengan wajah setengah masam ia keluar dari kamar. langkahnya otomatis memelan saat mendapati Gema sudah berada di ruang makan dan sedang membantu Harni. Sekilas tatapan mereka tak sengaja bertemu, lalu Gema melengos begitu saja untuk mengambil empat piring untuk mereka.

Melengos. Ya, melengos. Begitu saja. Demi apa?! seolah tak terjadi apa pun di antara mereka. Seakan mereka masih Gema dan Aria yang dulu. Tak ada senyum atau ekspresi lain yang lebih menyenangkan. Sama sekali!

Sebenarnya apa mau lelaki itu? Apakah memang demikian sikap terhadap calon istri? Biasa saja?!

Aria tidak percaya ini.

Bukan Lagi Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang