BAB 8

2.5K 495 103
                                    

Masih pagi. Kira-kira jam enam kurang. Biasanya, di waktu-waktu seperti ini Amerta masih rebah di ranjang sambil memainkan ponsel. Menunggu panggilan sarapan dari ibunya yang sedang sibuk di dapur.

Siapa sangka, waktu berjalan secepat itu. Kini, Amerta harus menyiapkan makan sendiri. Tak apa. Hidup memang selalu berputar. Tidak mungkin selamanya ia akan berlindung di belakang Harni. Akan ada masa ia tak bisa mengandalkan orang lain. Dan masa itu adalah saat ini.

Selesai salat subuh, Amerta langsung melepaskan mukena dan bergegas ke dapur. Sejenak ia bingung. Dirinya masih asing di sini. Baru datang satu kali, dan kali kedua sudah menjadi menantu. Wajar kalau Amerta butuh beberapa waktu untuk mencari tempat bahan-bahan makanan disimpan selain kulkas. Seperti beras, yang ternyata diletakkan di bawah meja pojok dapur. Ya, bisa saja ia bertanya. Hanya saja, sungkan rasanya.

Amerta menghela napas saat membuka karung penyimpanan itu dan hanya mendapati dua gelas beras tersisa. Amerta menghela napas panjang sebelum memindahkannya ke baskom untuk dicuci. Dengan hati riang, ia mulai menanak. Amerta berpikir, seluruh keluarga di rumah ini pasti akan sangat senang dan kian menyayanginya kalau ia menanakkan nasi untuk seluruh keluarga, bukan hanya Raga saja.

Namun begitu colokan magicom terpasang, Amerta bingung lagi. Nasi tidak mungkin hanya dimakan begitu saja. Harus ada lauk. Sedang di kulkas cuma tersedia dua butir telur. Sedikit tepung. Dua ruas daun bawang. Dan … kosong.

Karena tidak suka makan telur dengan campuran tepung, Amerta lebih memilih untuk membuat telur dadar tanpa campuran apa pun dan cuma diberi daun bawang. Toh, yang akan sarapan mungkin hanya ia dan Raga mengingat keterbatasan bahan makanan. Dayana bisa jadi sarapan di sekolah. Sedang sang ibu mertua, untuk ukuran seseorang yang seumur beliau, bisanya tidak terlalu suka makan pagi. Atau lebih sering mengalah pada anak-anak sekali pun ingin.

Ya, ya, ya. Pasti begitu.

Sial, kenyataan tidak demikian. Saat semua urusan di dapur selesai, Amerta segera memanggil suaminya untuk diajak sarapan bersama. Raga yang saat itu sudah siap berangkat kerja dengan setelan kemeja dan dasi, terlihat luar biasa tampan. Dan makin memukau saat dia tersenyum pada Amer begitu sang istri memberi tahu bahwa sarapan sudah siap. Amerta balas tersenyum seraya menggandeng lelaki itu menuju dapur.

Namun senyum itu hilang secepat datangnya, saat kemudian ternyata Raga mengumumkan pada seluruh keluarga bahwa sudah waktunya untuk makan. Kebahagiaan pagi Amerta karena berhasil memasakkan suaminya untuk kali pertama berubah menjadi rasa panik. Ia menarik tangan suaminya dan berbisik, “Makanan kita tidak akan cukup untuk empat orang?”

Raga mengernyit kecil. Ia menunduk menatap istrinya. “Kamu nggak mungkin masak cuma buat aku, kan?”

Menelan ludah, Amerta menggigit bibirnya. Ia sudah hendak menjawab, tapi tertahan lantaran pekikan terdengar dari ruang makan kecil di dekat dapur. “Kok cuma ini?!” Itu suara Dayana.

Raga mengangkat satu alis, menatap Amerta tak yakin sebelum meneruskan langkah ke ruang makan. Amerta mengikuti dengan langkah berat. Lelaki itu berhenti di sisi meja makan berukuran sedang, memandang hidangan yang tersaji dalam diam. Hanya ada nasi hangat, telor ceplok dan saus kecap yang diberi irisan cabai dan satu siung bawang merah sisa.

Dayana yang tidak suka menu sarapan mereka pagi itu, memasang muka masam. Sedang Desi mendesah, tampak sangat lelah padahal tidak melakukan apa pun dan seari tadi hanya menonton TV dengan putri bungsunya.

Amerta yang sungguh tidak tahu bahwa semua orang di rumah ini akan ikut sarapan, seperti disidang dadakan. Ia menunduk dan memilin ujung pakaiannya. “Maaf,” katanya dengan suara mencicit, padahal ia tidak harus melakukan itu. Hanya saja, tetap saja rasa bersalah muncul. Barangkali karena ia hanya seorang pendatang?

Bukan Lagi Tentang RasaWhere stories live. Discover now