BAB 40

2.8K 623 93
                                    

Gema berkedip pelan, tak langsung menjawab, berusaha memastikan bahwa yang dilihatnya benar mengingat pandangan kala itu masih agak silau lantaran ia yang baru datang dari luar. Dan ya, itu memang gelang emas yang Aria kembalikan beberapa waktu lalu, kini berada di tangan Amerta.

Menelan ludah, Gema kembali menatap si sulung yang menanti jawaban, lalu Aria yang masih mematung di sisi tubuh sang kakak.

Jawaban apa yang harus Gema berikan kala itu? Semua terasa salah. Membenarkan atau membantah akan menyakiti hati keduanya.

Ah. Terjebak dalam situasi semacam ini tak pernah ada dalam pikiran terliar Gema sekali pun. Memang salahnya. Seharusnya ia buang saja gelang itu atau paling tidak bereskan terlebih dahulu sebelum dua bersaudara Harun datang. Kalau sudah begini, ia bisa apa selain ... menarik napas panjang dan berusaha memikirkan jawaban yang paling aman.

“Itu,” Gema menahan napas sejenak sebelum kemudian melepaskannya seiring dengan kalimat lain yang menyusul kemudian, “hanya sekadar benda yang tidak diinginkan.” Dia tidak berani menatap Aria, hanya fokus pada Amerta meski setengah mati penasaran dengan respons mantan tunangan terakhirnya.

Namun sepertinya Amerta malah tampak makin penasaran. “Siapa yang tidak menginginkannya?” tatapan wanita itu makin penuh harap. Ada nyala Gema kenali di sana, tapi tetap berusaha ia abaikan.

Amerta ingin memulai kembali jika saja Gema bersedia. Dia bahkan menyatakan secara terang-terangan kemarin saat menyapu di dekat kandang usai menanyakan apakah Gema pernah menyukainya selama mereka bertunangan. Katanya, “Aku menyesal sudah mengkhianati Mas Gema. Andai aku tahu bahwa tidak semua cinta berakhir seindah kisah dongeng--”

“Jangan salahkan masa lalu, Amer,” ujar Gema diplomatis. “Jadikan saja sebagai pelajaran. Selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian.”

Aria sudah tidak lagi menguping saat itu, tapi Gema masih melirik bekas tempat duduknya yang sudah kosong. Karung berisi kotoran sapi hampir penuh sedikit lagi, tetapi rasanya Gema tak sanggup mengisi lebih tinggi. Keberadaan Amer, terutama topik pembicaraan mereka membuatnya ingin buru-buru menghilang. Ke sawah atau ke mana pun. Asal bisa menghindar. Ini jelas bukan jenis pembicaraan yang ingin dibahasnya, terutama dengan sang mantan yang sudah berkhianat lalu kembali datang dengan akuan penyesalan yang meski cukup sederhana tapi sangat memuakkan.

Gema sudah memaafkan Amerta. Sungguh. Dan hanya maaf. Sikap baiknya bukan berarti karena ia ingin memulai kembali, sama sekali. Murni sebagai bentuk persaudaraan. Tidak lebih. Tetapi Amerta sepertinya justru salah paham, dan jawaban Gema atas pertanyaan sebelumnya malah membuat wanita tersebut tampak makin percaya diri untuk merajut kembali kisah yang telah usai.

Gema bukan tidak bisa berkata tegas, dia hanya tak ingin menyakiti. Terlebih Amerta sedang tidak baik-baik saja saat ini. Dia masih sangat terluka oleh cinta pilihannya sendiri. Gema juga sadar posisi. Siapa Amerta dan siapa dirinya.

“Aku tidak menyalahkan masa lalu, hanya menyesal dengan sikapku yang dulu. Seharusnya aku sadar, pilihan orangtua terkadang merupakan yang terbaik.”

Gema mengedik pelan. “Nasi sudah menjadi bubur.”

“Dan masih bisa dinikmati selagi masih hangat kan, Mas?” sambung wanita itu. Dia tak lagi menyapu, hanya berdiri dengan menopangkan kedua tangannya ke atas gagang panjang sapu lidi dengan pose yang cukup anggun dan manis. Untuk ukuran wanita yang sedang menyapu halaman, Amerta berpenampilan terlalu cantik. Oh, dia memang selalu cantik. Tetapi kali ini berbeda. Jelas Amerta menyempatkan diri untuk berdandan, terlihat dari rona bibir dan pipinya yang lebih kemerahan, pun alis yang terarsir begitu rapi. Juga segar. Samar-samar aroma parfumnya tercium sampai kejauhan. Ditambah dengan set pakaian rumahan yang tampak baru serta hijab persegi yang membungkus kepalanya dengan sangat apik. Seperti sudah menghabiskan banyak waktu di depan cermin sebelum memulai aktivitas pagi ini.

Bukan Lagi Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang