BAB 6

2.6K 563 54
                                    

Hari itu cerah kendati saat ini masih musim penghujan. Tak ada tanda-tanda langit akan menangis. Sepanjang hari sang raja siang bersinar pongah, seolah ikut menyambut pernikahan terbesar di kampung itu. Dan kemeriahan ini pasti akan menjadi bahan obrolan warga paling tidak sampai dua pekan ke depan.

Hanya Aria yang berwajah mendung. Dia duduk di kursi depan barisan tamu dengan tangan disilang di depan dada. Tak dapat dipungkiri, dirinya iri. Harun menyiapkan segalanya untuk si sulung meski pernikahan Amerta tergolong cukup mendadak. Tidak mendadak sebenarnya, lelaki paruh baya itu memang sudah memiliki dana khusus untuk pernikahan sang putri kesayangan yang seharusnya dilakukan dengan Gema. Dan rencana pernikahan tersebut memang sudah terencana akhir tahun ini--sayang tidak demikian.

Oleh karena Amerta akan diboyong di Ibu kota oleh suaminya, dia tidak akan mendapatkan banyak tanah di sini. Jadilah Harun memberikannya dalam bentuk kemeriahan pesta pun dibelikan beberapa puluh gram emas untuk Amerta sebagai tabungan yang akan dibawa. Dan itu masih termasuk banyak omong-omong.

Yah, apa yang tidak untuk anak kesayangan. Aria memutar bola mata.

Amerta dilimpahi dengan banyak sekali keberuntungan. Kecantikan fisik. Kasih sayang luar biasa besar. Dan kini, ia mendapatkan lelaki yang dicintai pun mencintainya. Dia sudah benar-benar seperti putri dalam negeri dongeng.

Sedang Aria? Ia selalu mendapatkan sisa kakaknya. Mulai dari sisa kasih sayang, sisa pakaian, bahkan bekasnya. Ugh, asal jangan bekas tunangannya juga diberikan pada Aria. Mana sudi! Membayangkan saja sudah berhasil membuat Aria bergidik ngeri. Dan sepertinya memang tidak akan mungkin. Gema pasti sangat bodoh kalau mau dilempar dari satu gadis ke gadis lain oleh Harun.

Lebih dari itu, Aria curiga Gema memang sudah menyukai Amerta dari lama. Seperti pemuda-pemuda lain di kampung ini yang selalu terpesona melihat kakakknya.

Menghela napas panjang, Aria menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Ia menoleh ke dua kursi di sebelah kanannya yang kosong. Kursi yang seharusnya ditempati kedua orangtuanya. Tapi mereka kini tengah tersenyum manis di pelaminan. Biarlah. Biarkan mereka berlama-lama dengan Amerta, toh setelah hari ini Amerta akan pergi. Aria yang akan berkuasa.

Bukan. Bukan karena ia serakah. Lebih ke arah … dirinya muak selalu dijadikan yang kedua nyaris dalam segala hal. Segala hal. Amerta harus mendapatkan yang terbaik. Sedang Aria?

Jadi tak bisa dikatakan ia bersedih akan ditinggal Amerta. Tidak sama sekali. Emm, sedikit. Bagaimana pun, Aria menyayangi kakaknya. Bukan salah Amerta juga kalau dia menjadi kesayangan. Andai Aria lahir lebih dulu, barangkali dirinyalah yang akan mendapati posisi itu. Sayang, yang terjadi tidak demikian. Mau bagaimana lagi. Sudah takdir.

Ugh, lupakan tentang Amerta dan takdirnya. Saat ini yang lebih penting adalah perutnya yang mulai berbunyi. Menuntut untuk diisi lantaran ia belum makan lagi sejak makan malam terakhir.

Tidak seperti pengantin yang diperlakukan seperti ratu dan dipersiapkan segalanya, Aria terlupakan. Mendesah, Aria menurunkan kembali lipatan tangan di dadanya, hendak bangkit ke area prasmanan untuk mengambil makan.

Namun belum juga bokongnya ia tarik dari kursi, sepiring makan penuh tersodor tepat di depan hidung gadis itu.

Secentong nasi. Seperempat piring berisi capcai, bakso dan cincangan tempe. Seperempat piring lainnya sate kambing, telur dan daging. Ditambah sambal dua sendok di bagian pinggir.

Aria nyaris meneteskan air liur. Hampir semua yang berada dalam piring merupakan menu kesukaannya.

Tersenyum lebar, Aria langsung meraih piring itu tanpa ba-bi-bu seraya mendongak pada malaikat yang barangkali diutus Tuhan untuk memberinya makan. Lalu … senyum Aria menghilang. Dia bukan malaikat, melainkan--Aria mendengus--hanya seorang Gema.

Bukan Lagi Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang