BAB 22

3K 625 64
                                    

“Loh, loh? Kenapa tetap jalan? Itu rumah Mbah Mijo kelewat itu, hei!” Aria menggeplak punggung Gema berulang, memintanya berhenti karena mereka sudah sampai di tujuan. Tempat urut langganan keluarga Harun. Alih-alih berhenti, Gema justru terus melajukan motor bebek merahnya membelah jalan desa yang sudah mulai kembali rusak sejak diperbaiki terakhir kali sekitar tujuh tahun lalu, membuat laju si motor malang tidak mulus dan sedikit berguncang-guncang.

Melepaskan pelan gas motornya agar lebih pelan, Gema bertanya, “Kamu yakin mau pijat sama Mbah Wijo?”

“Biasanya kan memang begitu! Lagi pula tumben situ mau melanggar perintah Bapak, biasanya manut kayak orang bego.” Aria mendengus. Ia sedikit bergerak di jok belakang yang membuat sepeda motor agak oleng. Uh, Aria memang sulit diam dan seenaknya saat dibonceng.

Sebenarnya, bisa saja dia pergi sendiri ke tukang urut, toh Aria pun dapat berkendara sendiri. Hanya saja, Harun dan Harni tidak percaya sepenuhnya pada si bungsu lantaran dia sering mangkir setiap kali disuruh pergi pijat sendiri ke rumah si Mbah. Ngakunya sudah, ternyata pas ditanya pada si tukang urut katanya Aria tidak pernah datang. Karena itu, Aria selalu ditemani ke sana. Biasanya oleh Harun, terkadang ibunya. Baru kali ini Gema yang antar lantaran status mereka yang sudah menjadi tunangan. Bah!

Berbeda dari boncengan sebelumnya saat Gema mengantarkan Aria ke pengajian, kali ini ada sesuatu yang mengganjal. Aria tidak tenang duduk di jok belakang. Ia juga jadi sering menatap figur sang kakak angkat dari belakang. Lama dan teliti. Lalu mulai menyadari. Gema memiliki bahu yang lebar dan punggung tegap, lalu menyempit ke bagian pinggan. Aria jadi penasaran, bagaimana rasanya berpegangan pada pinggang itu sambil menyandar? Pasti akan terasa lebih nyaman ketimbang menyandar ke pohon kedongdong di halaman belakang yang sering banyak semut merah dan ulat bulunya. Pikir gadis itu, sebelum kemudian tersadar dan buru-buru menggeleng. Ah, rupanya efek jatuh kemarin belum menghilang. Ia jadi geram sendiri.

Menarik napas panjang, Aria hendak memijit pangkal hidung, tapi gerakannya terhenti saat mendengar jawaban Gema kemudian. “Saya selalu menurut kalau permintaan Pak Harun menyangkut saya. Tapi, ini tentang kamu.”

Mendengarnya, Aria yang tak paham tentu saja menjadi bingung hingga keningnya mengerut samar, “Hah, maksudnya?”

“Urusan kamu menjadi urusan saya juga sekarang. Bukan Pak Harun sepenuhnya lagi.”

Ugh, sepertinya Gema melantur. Aria makin bingung. “Nggak usah muter-muter, deh! Bilang aja kita mau ke mana? Nanti Mas aku adukan ke Bapak kalau macam-macam, ya!”

“Mencari tukang urut perempuan.”

“Lah, buat apa? Mas tahu sendiri aku cocoknya cuma sama Mbah Mijo!”

“Saya tidak suka kamu dipijat laki-laki lain.”

Deg.

Seperti ada angin yang tiba-tiba datang dari arah berlawanan dan menyerbu wajah Aria seketika, membuat mukanya menjadi dingin sebelum kemudian memanas pada jenak berikutnya dan mengacaukan kinerja salah satu organ di balik dadanya menjadi tidak beraturan.

Ya, Tuhan ... cobaan apa lagi ini? Memang tidak seharusnya Harun meminta Gema mengantarkannya, karena semua akan berakhir tidak menyenangkan. Terutama bagi Aria dan kesehatan mentalnya mungkin.

Oh, salahkan Aria yang kemarin masih betah menikmati langit sore saat seharusnya ia ikut pulang bersama Harni usai memetik buah terong. Andai ia melakukannya, pasti tidak akan ada adegan jatuh memalukan yang membuat otaknya eror dan tak keruan begini. Apa perlu ia bersiram lagi? Kalau perlu menggunakan air tujuh sumur yang dicampur bunga tujuh rupa agar kegilaan ini berakhir!

Namun, Aria tahu dirinya tidak bisa berhenti di situ. Ia harus melawan kesintingan ini agar tidak terbawa suasana. Lagi pula, sejak kapan Gema jadi suka menggombal?!

Bukan Lagi Tentang RasaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt