BAB 33

2.9K 677 77
                                    

Kewajiban.

Tanggung jawab.

Gema tersenyum getir menatap kepergian Aria usai melemparkan gelang emas yang baru beberapa malam lalu ia pakaikan di tangan gadis itu. Salah satu malam saat Gema merasa Aria benar-benar menerimannya sebagai tunangan.

Oh, Gema masih ingat betul raut wajah bungsu Harun saat ia memperlihatkan kejutan tersebut. Wajahnya tampak berseri-seri. Binar di sepasang mata cokelatnya bahkan hampir mengalahkan pesona sang rembulan. Atau Gema yang terlalu berlebihan?

Namun Gema yakin sebelum ini, semuanya baik-baik saja. Sampai saat itu tiba. Pertengkaran Harun dan Aria hanya karena pertanyaan sederhana.

Kapan menikah?

Tidak ada yang salah dengan itu. Sesuatu yang wajar. Jika pun bukan Harun, Gema memang sudah berniat mengajukan tanya yang sama. Hanya saja ia masih menunggu waktu karena merasa hubungan mereka masih baru.

Kalau pun pada akhirnya Aria berkeras meminta menunggu, sungguh Gema tidak keberatan. Asal Aria menepati janji dan tidak berkhianat seperti sang kakak. Apalah arti empat tahun? Karena tanpa terasa, waktu akan berjalan lebih cepat dari yang dibayangkan.

Aria seharunya tidak semarah itu.

Ah, tentu saja Aria marah. Karena mungkin sebenarnya ia masih belum benar-benar bisa menerima Gema sepenuhnya. Dan menganggap lelaki itu hanya sekadar kewajiban dan tanggung jawab untuk menyenangkan Harun.

Ha ha. Lucu sekali. Lalu selama ini ia anggap keseriusan Gema hanya sebatas tanggung jawab?

Ya, ya. Tak ada yang salah dengan pemikiran itu. Karena tak sepenuhnya benar. Awalnya memang demikian. Awalnya. Tetapi kalau boleh jujur, Gema sudah merasa mulai nyaman.

Namun apalah arti kata nyaman saat hanya satu pihak yang merasakan? Nyatanya Aria masih terpaksa melakukan pertunangan ini.

Gema menatap gelang di tangannya yang barusan ia tangkap saat Aria melemparkan ke dadanya dengan kasar. Dia bilang, Amerta lebih berhak.

Gema mendengus, lalu tertawa tanpa rasa humor.

Lucu sekali. Ada sesak di dadanya, seperti terimpit batu besar yang membuatnya sulit bernapas.

Perasaan itu datang lagi. Sakit yang hampir sama. Seperti kecil dulu. Saat tak ada sanak saudara yang menginginkannya dan berusaha melepaskan tanggung jawab atas Gema pada satu orang ke orang lainnya selepas kepergian sang ibu.

Ia sadar, dirinya dulu memang tidak berharga dan tak bisa apa-apa. Tapi kini berbeda. Dia Gema yang berguna. Sangat berguna. Bahkan banyak gadis menginginkannya. Tetapi Kenapa Amerta dan Aria tidak?

Kenapa putri-putri Pak Harun yang diminatinya justru tak berpikir sama? Apa yang salah dengan Gema?

Menimpiskan bibir tak habis pikir pun setengah terluka, Gema menggenggam erat gelang di tangannya. Ia hendak melempar Gelang tersebut, tapi kemudian menghentikan gerakan tangan yang siap terayun saat teringat ... ia sama tak diinginkan dengan benda itu. Emas. Tapi dianggap tak cukup berharga.

Tangan Gema sedikit gemetar saat kembali diturunkan ke sisi tubuh. Ia berusaha menarik napas panjang walau agak kesulitan. Lalu diembuskan perlahan melalui celah bibir. Lantas ia menatap langit. Masih secerah kemarin, tak ada mendung bergelantungan, tetapi mengapa Gema seperti mendengar bunyi gemuruh dalam kepalanya?

Menarik napas sekali lagi, berharap kali ini rasa terikat di dada melonggar, Gema melangkah kembali ke kamarnya dan tidak keluar dari sana sampai sore menjelang.

Dan seperti tidak pernah terjadi apa pun, Gema ikut makan malam. Ia tak ingin Harun harus memanggilnya dan bertanya kenapa. Karena Gema tak memiliki jawaban apa pun. Kalau sang ayah angkat harus mengetahui kabar hubungannya dengan Aria, ia ingin bungsu lelaki itu sendiri yang mengatakan langsung. Bukan dari bibir Gema.

Bukan Lagi Tentang RasaWhere stories live. Discover now