BAB 24

2.9K 633 119
                                    

Amerta menurunkan ponsel dari telinganya seraya mematikan sambungan. Tatapan wanita itu kosong mengarah ke luar jendela rumah sakit yang sepi, sedang dirinya terbaring di sendirian di salah satu ranjang sempit pesakitan tanpa ditemani siapa pun.

Raga sudah pergi sejak pagi. Masa cutinya sudah dihabiskan selama pernikahan dan dia tak bisa meliburkan diri bila masih ingin bekerja.

Desi dan Dayana, ibu mertua serta iparnya itu, apa yang bisa diharapkan dari mereka. Keduanya hanya berjanji pada Raga untuk menjaga Amerta di bibir saja. Kenyataannya, begitu Raga pergi, mereka ikut menghilang entah ke mana. Mungkin pulang, entahlah. Amer tidak ingin peduli. Lebih baik begini. Sendirian. Daripada ditemani tapi diceramahi tiada henti. Disalahkan untuk sesuatu hal yang bukan ulahnya.

Benar, Amerta tumbang. Ia jatuh pingsan dan mengalami pendarahan. Janinnya yang masih berusia 12 minggu pun tak terselamatkan. Dokter bilang, kemungkinan penyebabnya adalah karena ia terlalu kelelahan lantaran banyak melakukan aktivitas berat. Tapi mertuanya justru terus menyalahkan Amer dan mengatakan dirinya tidak becus menjaga diri. Padahal, siapa yang suka menyuruh dan menjadikannya babu? Bahkan meski hamil, Amerta tetap harus berbelanja sendiri ke pasar serta kadang membawa beban yang cukup berat.

Raga yang sepertinya juga tak berani menyalahkan sang mama, lebih memilih bungkam meski dengan wajah suram. Setidaknya, dia tidak menyalahkan dan meminta Amerta bersabar. Katanya, mereka bisa mencoba lagi dan berusaha.

Sabar dan kembali berusaha. Rasanya Amerta ingin tertawa, keras sekali hingga terdengar ke seluruh penjuru dunia, hanya agar semesta tahu bahwa dirinya terluka. Sangat.

Berkedip, satu bulatan bening kembali menetes dari ujung kelopak. Amerta meraba perutnya menggunakan tangan yang tak memegang ponsel, lalu perasaan hampa itu kembali begitu menyadari buah hatinya telah pergi, sebuah harapan yang membuatnya tetap bertahan di sini, di tengah-tengah keluarga yang membuatnya gila.

Kini, apa lagi yang ia tunggu? Tanya satu suara dari balik batok kepalanya yang masih terasa pening. Jarum infus menancap di lengan, mengalirkan cairan untuk menghidrasi tubuhnya yang lemah tapi tetap tidak bisa membangkitkan semangat hidup Amerta yang sudah nyaris hilang.

Ia tidak pernah tahu bahwa kehilangan akan semenyakitkan ini.

Menarik napas panjang melalui mulut, Amerta tahan oksigen itu sedikit lebih lama sebagai upaya untuk melegakan dada yang terasa begitu sempit, seperti terlilit tambang besar hingga membuatnya kesulitan menghirup udara dengan hidung.

Dari jendela rumah sakit yang terbuka di bilik ranjang perawatannya yang sempit--kebetulan ia kebagian di ujung--Amerta tatap langit yang kala itu tampak muram. Ini masih kemarau, tapi sebagian pulau jawa dibasahi curah hujan beberapa hari terakhir, membuat udara lembap dan dingin di beberapa waktu tertentu. Angin berembus kencang di luar. Beberapa lembar daun dari pepohonan di rumah sakit yang mulai menguning, terlepas dari tangkai dan terbang tak tentu arah, terombang ambing tanpa tujuan pasti sebelum kemudian jatuh ke tanah yang ditumbuhi rumput hias. Orang-orang berlalu lalang di lorong rumah sakit yang tak pernah sepi, hilir mudik dengan beberapa perawat yang tampak buru-buru membawa kantong infus atau pun yang tengah mendorong brankar pasien gawat darurat.

Dunia masih berputar, pikir Amerta. Dan akan terus berputar. Waktu tidak akan berhenti hanya karena satu orang yang kehilangan. Hanya dirinya yang bersedih. Dunia sama sekali tidak ingin tahu.

Amerta menangis lagi. Penyesalan yang membelenggu kini terasa percuma saja. Mungkin ini balasan atas sikap egoisnya di masa lalu. Tuhan langsung membayar kontan dengan rasa sakit dan kehilangan yang begitu menyedihkan.

Dan seketika, Amerta ingin pulang. Ia rindu ibu, bapak, adik dan rumah. Juga Gema. Ingin sekali bertemu dengan lelaki itu dan memohon maaf.

Hanya saja, bagaimana cara kembali? Amerta tidak punya apa-apa saat ini, bahkan walau sekadar uang saku untuk pulang. Hidupnya sungguh lebih mengenaskan dari seorang babu.

Bukan Lagi Tentang RasaWhere stories live. Discover now