BAB 36

2.7K 638 83
                                    



Amerta mengikuti arah pandang Aria dan mendapati sosok Gema yang tengah berdiri di ambang pintu, membelakangi arah datangnya cahaya. Meski dalam balutan pakaian tani yang tampak lusuh dan berdebu di beberapa sisi, dia tetap terlihat tampan. Caping yang biasa dikenakannya tergantung di belakang leher. Lengan kaus hijau pudar yang digulung sembarangan, serta celana panjang yang disingsingkan. Kendati demikian, kakinya bersih. Sepatu botnya sudah dilepas dan barangkali ditinggalkan di undakan teras sebelum masuk ke dalam rumah.

Spontan, senyum Amerta melebar. Sedang Aria sudah bangkit dan berlalu. Entah ke mana. Mungkin ke dapur atau kembali ke kamarnya. Entah ada apa dengan bocah itu. Dia tampak tak senang melihat kedatangan mantan tunangannya.

Benar. Mantan. Sekali lagi Gema ditinggalkan. Amerta menjadi merasa bersalah.

“Mas Gema!” sapanya sembari berdiri.

Gema menatap tempat terakhir Aria menghilang dari pandangan. Lemari partisi yang berdiri kokoh di tengah ruangan. Lelaki itu kemudian mendesah dan menoleh pada si sulung yang memasang tampang ramah. “Ibuk meminta saya mengambil makanan untuk buruh tani. Katanya minta saja sama kamu atau Aria.”

“Oh,” Amerta mengangguk, “Ibuk tadi memang sempat menitip pesan sama aku. Tunggu ya, Mas. Aku ambilkan dulu.”

Gema hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Ia kemudian berbalik dan duduk di undakan teras. Menunggu. Capingnya dilepas dan dijadikan kipas. Cuaca memang sangat panas hari itu. Dan penanaman bibit tembakau sudah dimulai, menggantikan semangka yang sudah panen. Kebetulan kemarau masih setengah jalan, ada waktu untuk menanam emas hijau itu. Terlebih ada kabar burung yang menyatakan bahwa harga daun tembakau naik musim ini.

Menyandarkan punggungnya yang agak pegal ke tembok, Gema meliarkan pandangan, menolak memikirkan Aria dan kalimat terakhir yang tak sengaja didengarnya di ruang depan tadi. Tentang dia yang tak pernah memiliki rasa sedikit pun untuknya.

Oh, itu bukan hal yang mengejutkan. Gema bahkan sudah bisa menebak. Hanya saja, mendengar langsung merupakan hal yang berbeda. Dan entah kenapa Gema merasa ... ada yang salah. Bukan pada Aria, melainkan dirinya.

Tak seharusnya ia merasa kecewa dan agak marah. Ah, wajar sebenarnya merasa marah mengingat Aria bukan hanya tidak memiliki rasa. Melainkan dia juga mendorong Gema kembali pada masa lalu. Masa lalu yang pernah mengkhianatinya.

Dan ini konyol. Kembali pada Amerta adalah tindakan tolol. Sangat tolol. Dan itu seperti sebuah penghinaan. Gema boleh tidak berharga dan hanya sebatas anak pungut di keluarga ini. Tetapi tetap saja, seharusnya Aria cukup punya akal dan berpikir bahwa Gema juga manusia dan punya hati.

Benar dirinya sudah memaafkan Amerta atas kejadian masa lalu. Anggap saja ujian hidup. Tetapi untuk memulai lagi ... tidak terima kasih. Ini bukan perkara karena Amerta sudah menjadi janda atau bekas lelaki lain, sama sekali tidak. Bagi Gema, wanita tetap wanita. Apa pun status mereka. Entah janda, gadis, ibu tunggal atau siapa pun. Mereka tetaplah makhluk yang harus dihormati. Gema hanya ... tak lagi ingin memberikan kesempatan kedua kepada seseorang yang pernah berkhianat. Bukan berarti ia tak percaya Amer bisa berubah, bukan. Tetapi baginya, cukup sekali. Tidak lagi. Kendati dengan terang-terangan Amerta memberi kode untuk mereka bisa memulai.

Oh, Gema punya harga diri. Dia seorang laki-laki.

Dan apa kata Aria juga tadi? Perasaannya masih untuk Amerta? Konyol! Bagaimana bisa dia sok tau begitu? Apa hanya karena menguping pembicaraannya tadi pagi yang hanya setengah-setengah itu? Huh.

Gema memang pernah punya rasa. Bagaimana pun Amer pernah menjadi impian masa depannya. Tunangannya. Calon istrinya. walau tidak serta merta tumbuh begitu saja.

Bukan Lagi Tentang RasaUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum