BAB 19

3.2K 648 83
                                    

Sebelum ini, Gema pernah mengatakan pada Pak Harun dan Amerta, bahwa dirinya tidak ingin menikah dengan perempuan yang enggan. Dan itu memang kenyataannya.

Amerta menolak setelah empat tahun pertunangan, karena saat kali pertama sang ayah mengumumkan perjodohan, Amerta masih terlalu lugu serta tidak memiliki alasan membantah. Dia lebih memilih diam dan pasrah pada keadaan. Lalu memutuskan kuliah ke luar kota hanya agar bisa berjarak dengan Gema. Barangkali berharap Gema akan bosan menunggu atau jatuh cinta pada wanita lain sehingga lelaki itu yang melepaskan diri lebih dulu.

Namun ternyata tidak. Gema justru sabar menunggu dan menjadi sangat setia. Hampir setiap hari berkirim pesan hanya untuk menanyakan kabar yang sering kali diabaikan. Kendati demikian, Gema masih perhatian dengan mengirimkan Amerta uang saku tambahan diam-diam di akhir bulan setiap kali wanita itu mengeluh uang bulanannya hampir habis. Pun tak sedikit. Gema memastikan betul tunangannya hidup dengan bahagia dan sejahtera di kota orang. Berpikir bahwa dia hanya sedang menuntut ilmu tanpa bermain mata dengan yang lain.

Nyatanya, Gema ditikam dari belakang. Ditusuk begitu dalam.

Tiada angin tiada hujan, Amerta membawa laki-laki lain di hari kepulangannya tanpa merasa bersalah sama sekali. Tanpa konfirmasi. Padahal sebelum itu, Gema pikir semuanya akan baik-baik saja. Ia mempersiapkan diri dan mengenakan pakaian terbaik saat hendak menjemput sang tunangan ke terminal. Mobil Harun ia mandikan hingga ia berkilau. Gema yang sejak awal tak terlalu menyukai aroma parfum yang menyengat bahkan menyemprotkan bajunya lebih banyak hanya untuk menyenangkan Amerta dan memberi kesan baik.

Tetapi, apa yang ia dapat?

Amerta menggandeng lelaki lain dan memperkenalkannya sebagai pacar. Pacar. Bagai ada petir yang menyambar kepala Gema saat itu. Seketika. Berhasil menggosongkan seluruh isi dalam kepalanya menjadi ... entahlah. Yang pasti, tentu saja terkejut. Lebih dari itu, Gema malu. Pada semesta. Pada Harun. Terlebih pada dirinya sendiri yang dengan penuh percaya diri datang kemari dengan tampilan penuh niat sampai meminyaki rambutnya dengan gel hitam hanya agar tidak terlihat kemerahan lantaran sering berjemur.

Harga diri Gema seperti diinjak. Lebih dari seonggok kotoran sapi di kandang belakang kediaman Harun yang masih lebih berharga dan bisa dijadikan pupuk. Sedang dirinya? Tunangan hampir lima tahun dan ternyata tidak dianggap.

Oh. Amarahnya muncul setiap kali mengingat kejadian tersebut. Bukan kepada Amerta, melainkan dirinya sendiri. Seharusnya ia bisa menjadi lebih peka. Andai Gema tahu Amer tidak pernah bersedia lebih awal, dirinya yang akan menolak. Dengan demikian, Amerta tidak harus merantau jauh ke kota orang hanya untuk menghindari perasaan tidak nyaman setiap kali mereka bertemu.

Gema peduli pada wanita itu. Ya. Sangat. Lima tahun membayangkan mereka akan menikah dan menghabiskan sisa hidup sebagai pasangan, cukup membuat Gema merasa sayang. Ingin melindungi dan menjadi yang terbaik. Dan saat semuanya terempas begitu saja dari genggaman ... Gema merasa seperti tidak memiliki pegangan. Bingung dan ... tenggelam.

Ia butuh sesuatu untuk kembali menariknya ke permukaan. Sesuatu yang kuat. Yang bisa menyelamatkan harga dirinya. Bukan di mata orang lain, tapi dirinya sendiri.

Gema sedang kacau saat itu. Bimbang harus mengambil keputusan apa. Bertahan rasanya tak mungkin. Melepaskan juga tak mudah. Tapi ia tahu dirinya harus rela. Karena itu Gema mengalah.

Ia mengutarakan keputusan tersebut pada Harun tepat setelah makan malam. Di teras belakang. Hanya empat mata. Siapa sangka ada dua telinga lain sedang menguping pembicaraan mereka.

Aria. Si bungsu yang tak pernah Gema perhitungkan sebelumnya. Gadis tengil yang bandel itu mengintip lewat celah pintu yang sedikit terbuka. Sama sekali tidak malu meski Gema memergoki.

Bukan Lagi Tentang RasaOnde histórias criam vida. Descubra agora