BAB 9

2.7K 573 95
                                    

Panas terik. Matahari bersinar gagah di langit, panasnya terasa begitu menggigit. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Sama sekali. Awan pun tampak jarang dan jauh, membiarkan para manusia di kolong langit terpanggang di bawah kuasa sang raja siang.

Oh, ini masih panas dunia, belum neraka; begitulah keluh orang-orang. Keringat menetes, membasahi seluruh tubuh, membuat kulit-kulit yang tak tertutup helai pakaian tampak mengilap seperti porselen. Porselen cokelat, tepatnya. Sayangnya, yang ini tidak menggoda.

Aria mendesah. Ia mengelap kening dengan punggung tangan. Kerudung instan yang dikenakannya sudah berbau asin lantaran begitu menempel dengan kulit kepala yang lembab dan mulai bau akibat peluh. Ugh, ini kegiatan yang paling dibencinya.

Panen padi. Huh!

Siapa bilang anak bos bisa ongkang-ongkang kaki seperti ratu? Oh, sebagian orang mungkin begitu, tapi tidak berlaku bagi Aria yang merupakan anak bungsu. Hak menyenangkan itu hanya milik Amerta dulu. Kakaknya bebas hengkang dan mengatakan enggan. Sedang Aria, telinganya langsung ditarik oleh Harni hanya karena dirinya mengeluh. Kata beliau, jangan jadi pemalas.

“Loh, kenapa hanya Ari yang harus bantu? Kenapa Mbak boleh nggak?” sungutnya suatu hari saat kecil. Tidak terima. Ia melipat tangan di depan dada sambil mendongak tinggi menatap sang ibu langsung berdeham dan mengalihkan pandang.

“Mbakmu sedang belajar. Dia ada ujian masuk SMA bulan depan.” Adalah jawaban beliau, yang dulu si bungsu terima dengan berat hati. Sebelum kemudian ia tahu, apa pun keadaannya, akan selalu ada alasan untuk absennya Amerta dari pekerjaan membantu orang tua. Sedang tidak untuk Aria.

Amerta boleh memilih universitas yang diinginkan. Di kota mana pun, meski sempat dilarang. Aria tidak. Katanya, kuliah di sini saja. Ilmu tak beda di mana pun tempatnya. Kakakmu kuliah jauh-jauh, tetap saja akhirnya jadi ibu rumah tangga. Kalau kamu pergi, siapa yang akan menemani Bapak dan Ibu di rumah? Siapa yang akan bantu-bantu? Dan lain-lain. Dan lain-lain. Padahal, Aria juga ingin tahu dunia luar. Berada di kota orang dan merasakan kenikmatan mudik seperti yang lain.

Namun apa mau dikata? Aria sudah dipaksa menjadi penurut sejak kecil, meski terkadang suka membantah, tapi dia punya hati yang lemah.

Karena kelemahan hatinya itu, di sinilah sekarang dia berada. Di jalan setapak yang memisahkan sawah ayahnya dengan sawah lain. Dua tangannya diletakkan di sisi tubuh dengan posisi terbalik, sebagai penopang. Kepalanya agak didongakkan untuk menikmati angin yang berdesir. Capingnya sudah terlepas dari kepala, menggantung di belakang leher dengan tali yang terbuat dari pilinan pelepah pisang kering sebagai penahan.

Di depannya, di sawah yang hampir seluas 2.000 meter itu para buruh tani yang dipekerjakan Harun sedang bekerja. Sang ayah berada di antara mereka, sedang Harni sedang menyiapkan makanan untuk di kirimkan ke sini nanti. Gema juga ada di sana, sedang menumpuk batang pohon padi menjadi gunungan yang tinggi agar besok lebih mudah digiling untuk memisahkan bijinya besok.

Harun tidak menggunakan mesin untuk setiap panen. Beliau tidak terlalu suka dengan hasil potongan mesin panen yang memangkas terlalu tinggi. Jadi harus bekerja dua kali mengingat sisa batang padi yang tinggi masih harus dipangkas lebih pendek agar tanah persawahan bisa digunakan untuk pertanian yang lain. Karenanya beliau lebih senang membayar buruh untuk mengarit secara tradisional.

Setidaknya, pekerjaan hari ini sudah berakhir. Kendati demikian masih ada hari esok. Ya, esok. Penggilingan padi. Pun hari-hari lain yang sama melelahkan. Karena setelah itu, biji-biji padi itu masih harus dijemur dan dihindarkan dari hujan. Selama berhari-hari, sebelum nanti bisa menjadi beras dan dijual. Ya, ya, ya. Uang tidak semudah itu bisa didapatkan. Kecuali oleh Amerta mungkin.

Ah, lupakan kakaknya yang kini sedang menikmati masa pengantin baru di kota orang. Dia hanya kebetulan terlahir beruntung. Keberuntungan yang sampai kini masih juga membuat Aria iri. Tapi, siapa yang tidak akan iri? Dia selalu menjadi tuan putri kesayangan orangtuanya, dan kini diratukan oleh suami. Akankah Aria juga begitu nanti?

Bukan Lagi Tentang RasaWhere stories live. Discover now