Mengapa tak dari Semula

17 5 0
                                    

Fajar perlahan naik menghapus sisa malam, membangunkan sebagian penghuni semesta yang memiliki aktifitas di rumah sakit itu.

Pukul enam pagi, Muti keluar dari ruang rawat. Tanpa bersuara, dia menatap Ahsan yang duduk tertidur di kursi tunggu. Kakinya melangkah meninggalkan laki-laki itu dan kembali beberapa saat kemudia dengan membawa beberapa roti isi dan dua gelas kap kopi panas.

Sambil tersenyum kecil, Muti duduk di sebelah Ahsan, lalu perlahan membangunkannya, tanpa harus membuat laki-laki itu terkejut.

“San, bangun San…” Muti mengelus pundaknya.

Tubuh Ahsan bergerak perlahan, matanya terbuka, lalu tertutup lagi dan kembali terbuka.

Di sebelahnya, dia menemukan Muti yang tersenyum kecil seolah menyambut, lalu berkata sesuatu padanya.

“Sudah pagi,”

Pandangan Ahsan terkunci pada wajah teduh itu. Tak berbeda dengan Muti. Suaranya lumpuh saat bertukar pandang, kata-kata itu pun semakin sulit keluar.

“Kamu enggak pulang?” dengan susah payah Muti mengeluarkan suaranya.

Kenyamanan situasi itu pecah dalam sekejap. Ahsan membuang pandangan dan memperbaiki duduknya.

“Aku mengkhawatirkan Rerey. Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Dokter bilang kondisinya sudah stabil. Tapi kita masih harus menunggu dia sadar.”

Ahsan menghela napas dan mengusap wajahnya. “Syukurlah…” Ahsan menoleh. “Dia enggak akan amnesia sepertiku kan?”

Muti tersenyum mendesah. “Ya, semoga saja enggak.”

“Kalau iya, bagaimana?”

“Aku akan gila, kalau itu terjadi!”

Ahsan tersenyum mendesah, yang lama kelamaan berubah jadi tawa ringan.

“Mau kopi?” Senyum wanita itu semakin lebar.

“Thanks,” Ahsan menerimanya tanpa sungkan.

Rasa manis kopi susu itu merayap indra pengecapnya. Aromanya pun berhasil memberi sediki ketenangan. Berkali-kali Ahsan menyeruput kopinya hingga tinggal setengah.

“Ini pasti berat bagimu?” Ahsan memecah hening di antara mereka. “Menghadapi situasi seperti ini sendirian pasti sulit bukan?”

Muti mengangguk pelan.

“Aku berpikir, kalau aku adalah orang yang paling tersakiti atas kejadian ini, tapi ternyata…” Ahsan menggeleng pelan. “Kamu adalah orang yang paling terluka di sini. Dibohong, hal itu pasti begitu melukaimu,”

Muti menggeleng. “Bukan itu. Tapi, melihat seseorang yang aku cintai bersama perempuan lain itu adalah hal yang paling menyakitkan.”

Ahsan melirik sekilas. Ditemukannya wanita di sampingnya itu tersenyum miris. 

“Kenapa enggak bilang dari awal, kalau aku adalah suamimu? Kenapa kamu malah diam dan menelan rasa sakit itu sendiri?”
Kegugupan tahu-tahu tampak di raut wajah Muti. Dia yakin setelah ini akan ada banyak pertanyaan lain dari Ahsan.

“Andaikan aku tahu dari pertama kali kita bertemu di Naice Cream, aku pasti akan memperbaikinya lebih awal, aku enggak akan membuat kamu terluka  dua kali karena pertunanganku dengan Tasya kemarin.”

“Karena aku melihat sekarang kamu hidup di jalan yang seharusnya. Hubungan kamu dengan seluruh anggota keluargamu pun terlihat jauh lebih harmonis dari sebelumnya dan bahagia.” Muti tersenyum kecil. “Aku enggak mau merusak itu,”

Mereka sling berbalas suara, akan tetapi keduanya tetap menatap kap kopi masing-masing.

“Bahagia?” ucapnya mendesah.

Muti mengangguk sekilas.

Ahsan berusaha menahan suaranya agar tetap tenang.

“Kebahagiaan apa yang kamu maksud? Menurutmu, hidup dalam banyak pertanyaan juga kebohongan adalah sebuah kebahagiaan? Kamu salah, Mut!” ucapnya berbisik di kalimat akhir.

Muti semakin tertunduk.

Ahsan menoleh. Menatap Muti lama-lama dan perlahan dia menggenggam tangan perempuan itu. Ahsan tahu, tidak seharusnya dia banyak bicara dan seolah-olah menghakiminya. Ahsan pun paham bagaimana sulitnya menjadi sosok perempuan seperti Muti, mengalah dan mengorbankan perasaannya di tengah-tengah keegoisan orang-orang di sekitarnya bukanlah sesuatu yang mudah. Wanita ini sudah banyak menelan pahit dan sudah terlalu jauh belari tanpa alas kaki. Ya, sudah semestinya dia beristirahat sekarang.

Dalam satu tarikan, Ahsan mendekap Muti dan berkata, “Kamu sudah bekerja keras. Aku tahu kamu pasti lelah. Sekarang biar aku meringankan bebanmu selama lima tahun ini. Makasih ya, sudah mau bertahan.”

Muti terisak dalam dekapan itu. Masih jelas diingatannya bagaimana saat terakhir kali laki-laki ini merengkuh dirinya, sebelum menjadi sebuah kenangan baginya. Entah berapa bait doa yang ia panjatkan untuk mencurahkan kerinduannya terhadap pelukan hangat itu. Namun satu hal yang ia butuhkan itu kini hadir bukan sebagai angan-angan. Ini nyata. Dan Muti tak ingin mengakhirnya begitu saja.

***

Sejak satu jam yang lalu, Ahsan terduduk menemani anak sematawayangnya, dia tidak juga melepaskan genggaman jemarinya dari tangan Rerey yang belum juga membuka mata, meski sudah berkali-kali Muti memintanya pulang.

“Nanti siang kamu bisa datang lagi, sekarang lebih baik kamu pulang, mandi, ganti baju.”

Ahsan menggeleng. “Nggak! Aku takut saat aku kembali ke sini, kamu sudah membawanya pergi.”

Kening Muti mengerut samar. Pikirannya tertaut pada satu hal. “Kamu pikir aku Mamimu?”

“Pokonya aku akan tetap di sini sampai Rerey bangun!”

“Sudah, Mut biarin atuh kalau Nak Ahsan masih mau di sini.” Kata Ibu dari sofa sana.

Muti menghela napas. “Terserah!”

Ahsan tak mengindahkan perkataan Muti. Dia menatap anaknya yang terbaring di tempat tidur dengan harap-harap cemas. Tiba-tiba tangan Rerey dalam genggamannya bergerak. Ahsan tersentak. Lalu ia melihat mata Rerey yang bergerak pelan.

“Mut, Rerey sadar,” ucapnya tanpa melepas tatapan dari Rerey.

Muti pun terbelalak. Segera tangannya menekan tombol di samping kasur, memanggil dokter.

Mereka berdua berdiri di kedua sisi kasur Rerey.

“Rerey, sayang…” Muti berbisik. “Ini Bunda, Nak… kamu dengar Bunda?”

Perlahan-lahan kelopak mata Rerey terbuka. Sejenak matanya menatap kosong, lalu bergerak ke wajah Muti.

“Bunda…” panggil Rerey serak.

Muti tersenyum, matanya berbinar. Satu kekhawatiran sirna di hatinya. Satu hal yang di takutkan Muti tidak terjadi. Rerey masih mengingatnya. Dia menghela napas lega. “Terima kasih, Tuhan…” bisiknya.

“Bunda…”

“Iya, sayang… Bunda di sini,” jawab Muti sambil membelai rambut anaknya.

“Ini di mana?”

“Di rumah sakit.”

“Kenapa aku di sini?”

“Karena Rerey lagi sakit, makanya Om Edgar sama Anin bawa Rerey ke sini semalam.”

“Emangnya aku sakit apa?”

“Ada luka di kepala Rerey, tapi, Rerey enggak perlu khawatir, Dokter bilang sebentar lagi lukanya sembuh, asal Rerey rajin berdoa dan minum obatnya teratur, ya?”

Rerey mengangguk.

Ahsan tersenyum, melihat bagaimana pandainya Muti menenangkan anaknya.

Rerey menoleh ke arahnya, ia terlihat heran. “Om Ahsan?”

Rerey melirik tangannya yang tergenggam. Ada kehangatan yang ia rasakan dari genggaman itu, sebuah genggaman yang selalu berhasil membuatnya merasa aman.

“Om, kapan kita main bola lagi?” pertanyaan itu muncul tanpa terduga.

“Kalau Rerey sudah sembuh, Om pasti ajak Rerey main bola lagi.”

“Janji?”

Ahsan tersenyum. Kelingkingnya tercantel di kelingking Rerey. “Janji!”

***

Jemput gue! Gue tunggu di rumah sakit!”

Begitulah telepon terakhir dari sahabatnya dua jam lalu.

Irgi melambatkan langkah saat menemukan sahabatnya terduduk di kursi pengunjung rumah sakit.

“Lur,” sapanya.

Ahsan melambaikan tangan.

Irgi duduk di sebelahnya. “Kenapa lu? 24 jam ngilang enggak ada kabar, lu malah di rumah sakit,”

“Rerey kecelakaan. Dia ketabrak mobil semalam.”

“Ah?” mata Irgi melebar. “Terus dia di mana sekarang? Gimana keadaannya?” panik.

“Dia ada di dalam, kondisinya sudah jauh lebih membaik dari tadi pagi.”

Irgi menghela napas lega. “Syukurlah… nuhun gusti…” dia mengusap wajahnya.

(Terima kasih Tuhan…)

Ahsan menatap heran sahabatnya. “Segitu khawatirnya lu sama Rerey?”

“Iyalah! Rerey itu udah gue anggap anak sendiri. Gue ikut ngurusin dia dari bayi merah. Wajar kalau gue khawatir.”

“Lu emang berengsek!”

“Aduh!” keluh Irgi setelah mendapat tamparan kecil dari Ahsan.

“Kenapa lu nggak jujur kalau Rerey itu anak gue? Sahabat macam apa lu?!”

Irgi terbelalak. “L-lu?”

“Gue udah tahu semua dari Muti. Dan kenapa lu juga enggak bilang kalau gue suaminya Muti?!” Kata Ahsan gregetan.

“Mantan suami lebih tepatnya!” Keke mengoreksi.

Ahsan dan Irgi mendongak, perempuan bertopi itu menghentikan jalannya di hadapan mereka berdua.

“Gue sama Irgi sepakat bungkam soal hubungan lu sama Muti, karena kita kasihan sama Muti. Dia udah terlalu banyak menderita karena lu!”

Irgi mengangguk. “Kita bukan bermaksud jahat sama lu, kita berdua cuma enggak mau Muti berurusan sama keluarga lu lagi, apa lagi nyokap lu. Jujur, sebagai sahabat, sakit hati gue lihat gimana jahatnya perlakuan nyokap lu ke Muti saat itu. Nyokap lu caci maki dia, menyalahkan semua yang terjadi sama lu itu gara-gara dia, sampai nyokap lu dorong Muti jatuh ke lantai saat kondisi dia lagi mengandung Rerey.”

Ahsan menunduk dalam-dalam, menyesalkan kejadian yang di ceritakan Irgi padanya.

“Apa dulu gue juga tahu kalau Muti hamil?” Ahsan mendongak, melirik kedua sahabatnya bergantian.

Keke menggeleng. “Muti juga baru tahu kalau dia hamil, setelah tiga hari kabar kematian lu.”

“Really?”

“Iyalah! Orang gue sama Irgi yang nganter dia ke dokter kandungan, setelah kita tahu kalau dia sering muntah-muntah.” ucap Keke.

“Agan tahu soal itu?”

Irgi dan Keke mengangguk.

Ahsan menghela napas. “Kenapa Agan juga enggak jujur sama gue dari awal, sih?”

“Tujuannya sama. Kita bertiga enggak ada yang bermaksud jahat. Semua demi kebaikan kalian bedua. Kalau pun misalnya kita jujur dari awal kalau lu adalah ayah dari satu orang anak, apa lu bakalan langsung terima begitu aja? Enggak kan? Mungkin aja lu bakalan menolak menah-mentah dan enggak mungkin ada di sini sekarang.” Jelas Keke.

Irgi mengangguk-angguk mensetujui.

“Eh, tapi ngomong-ngomong soal Kak Agan. Kemarin Tasya datang di Naice Cream.” Kata Keke.

Ahsan mengerutkan kening. “Ngapain dia ke sana? Terus apa hubungannya sama Kakak gue?”

“Tasya nemenin Kakak lu seharian di Naice Cream.”

“Ah?” mata Ahsan melebar.

Keke menghela napas. “Kayanya mereka jadian deh,”

“Ngaco lu!”

“Ya, mungkin itu cuma perasaan gue aja. Tapi masa iya, temen sampai ngasih cincin segela,”

“Cincin apaan?” Ahsan semakin penasaran.

“Gue enggak tahu, cincin lamaran kali. Lu tanya aja sama Kak Agan langsung. Udah ah, gue mau masuk dulu, tadi Muti kabarin gue kalau Rerey di rawat. Makanya gue langsung ke sini.” Keke melengos masuk ke ruang rawat Rerey.

“Ada yang nggak beres,”

“Elu yang nggak beres!” Sahut Irgi.

***

Hehehe... Ahsan emang gak beres 😄

Hai-hai Temaraniaaa...

Sudah satu minggu author tidak menyapa kalian bersama Ahsan 😊

Gimana apa kalian menikmati perjalana bersama Ahsan sejauh ini?

Aku harap kalian menikmatinya.

Jangan lupa like dan komen supaya Author semakin semangat lagi nulisnya,

Tunggu kelanjutan ceritanya ya 😀

Love 💚

After 1.800 DaysWhere stories live. Discover now