Menemukan Matamu

37 9 0
                                    

Kabar kepulangan Tasya di terima baik oleh Mami dan Papi. Suasana meja makan berubah hangat dalam sekejap. Raut wajah Mami yang membuatnya segan itu hilang, mencair dalam obrolan dengan akhir kesepakatan Agan akan mengantarnya ke bandara besok siang.

Pengaruh Tasya memang berdampak besar bagi keutuhan keluarganya. Ya, Ahsan merasakan betul. 

“Jadi itu artinya kamu bisa cepat-cepat melaksanakan pertunanganmu dengan Tasya?” Mami berpendapat.

Dan di waktu yang hampir bersamaan, dua Kakak beradik itu dibuat bungkam beberapa detik saat topik pembicaraan berubah ke arah yang lebih serius.

Ahsan berdeham, sebelum mengutarakan  pendapatnya. “Aku rasa enggak harus secepat itu, Mi. Kita masih punyak banyak waktu-“

“Apa lagi yang kalian tunggu? Usia kalian sudah 26 tahun-“

“Ada Kak Agan yang usianya jauh lebih matang untuk segera menikah,” Ahsan dan Mami saling memotong pembicaraan.

Agan menoleh cepat, Ahsan pun menoleh padanya.

“Benar kan?”

Suara Ahsan bagai menuntut kepastian mengenai kesiapannya yang belum pernah Agan persiapkan.

“Memangnya kamu sudan memiliki calonnya?” Mami memecah balas tatap mereka. Keduanya menatap lurus sang Ibu di hadapannya.

“Wanita seperti apa dia? Lulusan dari universitas mana? S1, S2, atau S3? Bekerja di mana dia sekarang?”

Pertanyaan beruntun itu berhasil membuat kening Ahsan mengerut samar. Matanya sekilas melirik sang Kakak yang mematung menatap kosong piring makannya.

Tampaknya ia paham sekarang alasan mengapa Agan belum pernah mau menjalin hubungan yang serius dengan seorang wanita. Agan benar, bukan sekedar mengemban tanggung jawab yang menghantuinya, tapi lebih dari itu!

“Kekasihnya Kak Agan lulusan S2, dia seorang Dosen, Mi.” Ahsan bantu menjawab.

“Dari Universitas mana? Apa pekerjaan orangtuanya? Pejabat? CEO?” Pertanyaan Mami semakin runcing terdengar.

Sekali lagi Ahsan melirik kakaknya. Ada amarah tertahan dari cara Agan memegang alat makan. Sudah ia pastikan kalau Muti bukan termasuk ke dalam kriteria Mami.

“Kamu tahu kan, keluarga kita bukan keluarga sembarangan. Ayahmu seorang pemilik perusahaan properti terbesar di Jawa Barat. Jadi jangan dapatkan wanita yang sembarangan, mengerti?” Ucap Mami tanpa menatap Agan.

Alat makan yang terlepas dari genggaman Agan, menimbulkan suara dentingan keras di atas piring. Gesekan keras kursi yang terdorong ke belakang pun tak dapat membohongi orang di sekitarnya kalau Agan sudah tersulut emosi.

“Aku ke kamar deluan. Selamat malam semua.”

***

Masih terekam jelas betapa mengerikan sekilas tatapan marah Agan padanya sebelum meninggalkan meja makan tadi, dan hal itu berhasil mengurungkan niatnya untuk tidur lebih awal.

Selepas makan malam, Ahsan mengetuk pintu kamar kakaknya segera. Bukan sekedar ingin melihat kondisinya, namun ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan Agan.

Ahsan memutar pedal pintu setelah dua kali ia mengetuk. “Lu udah tidur?” kepalanya muncul di sela pintu.

“Not yet, why?” jawab Agan yang melihatnya sekilas saja.

Dia tampak sedang sibuk berbalas pesan di ponsel. Entah dengan siapa? Mungkin Muti?

“Gue boleh masuk?”

“Mm,” Agan mengangguk.

Tubuhnya terhempas sempurna di kasur, di samping kakaknya yang duduk bersandar ke kepala kasur. Langit-langit di atasnya menghantarkan Ahsan pada sebuah pertanyaan yang sudah tersimpan beberapa hari terakhir.

“Seburuk apa sih hubungan gue sama lu dulu?”

Kegiatan Agan berhenti. Ditemukannya Ahsan sudah mentapnya lebih dulu.

“Kita sering marahan kayak gini, ya?”

Agan berniat tak menanggapi, tapi Ahsan seolah mendesaknya tuk menjawab.

“Lumayan.” Katanya singkat.

Ahsan tersenyum tipis. “Sori, tadi gue enggak pernah bermaksud bikin lu merasa terpojok. Gue enggak tahu kalau Mami punya kriteria tersendiri buat calon menantunya.”

“Bukan enggak tahu, lupa!”

“Ah, iya. Gue lupa!”

“It’s ok,

“But you’re not be ok,” balas Ahsan.

Agan menggigit bibir bawah. Yang di katakan Ahsan ada benarnya. Dia tidak pernah merasa baik-baik saja.

“Sebenarnya, Muti itu berasal dari keluarga seperti apa?”

Untuk kedua kalinya Agan melirik adiknya.

“Barang kali gue bisa bantu bujuk Mami sama Papi. Tapi kalau lu keberatan buat cerita enggak apa-apa,”

Ahsan menghela napas panjang. “Lu mungkin bisa membujuk Papi, tapi enggak sama Mami dan diri lu sendiri.”

“Maksud lu?”

“Muti berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya guru olahraga di SMA kita dahulu. Ibunya guru TK. Ya dan lu juga tahu sendiri kalau dia single mother.”

“Gue sendiri enggak ada masalah soal itu. Buat gue kriteria Mami enggak usah jadi patokan, yang harus jadi patokan itu ini,” Ahsan mengelus dadanya.

After 1.800 DaysWhere stories live. Discover now