Intuisi

11 5 0
                                    

Ahsan cuma tersenyum simpul. Menyimak cerita masa lalunya menyadarkan Ahsan akan satu hal, nurani tak pernah salah menunjukan jalan pulang.


Muti sudah mencuri perhatiannya sejak awal pertemuan mereka di Naice Cream. Rasa ingin melakukan sesuatu untuk wanita itu dan lima reaksi aneh tubuhnya bak alarm yang menguatkan instuisinya jika memang dia memiliki kedekatan lebih dengan Muti.


"Sekarang aku mengerti kenapa kamu memberikan gelang itu sebagai hadiah pertunanganku kemarin." Ahsan menoleh.

"Kamu menyerah?"


Muti menghela napas dan mengangguk pelan. "Enggak ada yang harus aku perjuangkan lagi."


"Ada kalau kamu mau,"


Muti menoleh.


"Aku sudah mengakhiri pertunangan dengan Tasya. Aku sudah tahu kalau selama lima tahun terakhir ini aku dibohongi. Bukan cuma sama dia. Tapi orangtuaku, Agan, Irgi ,Keke, termasuk kamu. Kalian semua berhasil buat aku jadi orang terbodoh sedunia, makasih ya," Ahsan mengelus pundak Muti.


"Kamu pikir cuma kamu?!"


Ahsan melepaskan tangannya dari pundak Muti.


"Aku juga! Lima tahun aku selalu nangis di atas tanah makam dengan nama kamu, yang ternyata itu cuma tanah kosong. Thanks, udah buat aku terlihat seperti orang gila lima tahun ini!"


"Sebenarnya apa yang terjadi, sebelum aku kehilangan semua ingatan?"


"Setelah menikah, kita membangun rumah tangga yang bahagia, juga membangun Naice Cream untuk menyambung hidup. Kamu melaksanakan tugas sebagai suami dan seorang mahasiswa, aku pun berusaha melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri dan mahasiswi yang melanjutkan pendidikannya lagi setelah sempat putus kuliah. Setiap hari kita selalu bareng-bareng, di kampus, di rumah, di Naice Cream. Kita enggak pernah terpisahkan dan kamu selalu berhasil buat aku tertawa. Meski aku tahu, tawamu juga tawaku itu hanya cara untuk menutupi kesedihan kita. Hidup berumah tangga tanpa restu orangtuamu adalah salah satu problema kita, San. Terlebih lagi ketika hubungammu dengan mereka memburuk, aku semakin merasa kita hidup di rumah tanpa atap. Aku penuh kekhawatiran, juga penuh ketakutan."


"Apa alasan orangtuaku tidak merestui pernikahan kita?"


"Karena menurut mereka, aku bukan perempuan yang pantas untukmu."


"Tapi aku bersikeras menikahimu. Itu penyebab hubunganku dengan mereka memburuk?"


Muti mengangguk. "Berkali-kali Mami kamu berusaha memisahkan kita dengan berbagai macam cara. Aku ingat betul bagaimana Mamimu memohon dalam keadaan lemah setelah menjalani operasi pemasangan ring di jantungnya, dia meminta agar kamu pulang ke rumah dan meninggalkan aku. Tapi kamu tetap memilihku. Itu yang membuat Mamimu semakin marah dan akhirnya membencinku. Hingga satu tahun pernikahan, insiden itu terjadi,"


"Insiden apa?"


"Kita mengalami kecelakaan tunggal sepulang dari Naice Cream. Saat itu kamu bilang ada yang mengejar kita, jadi kamu memacu motor lebih kencang dari biasanya. Dan di pertengahan jalan, kamu membanting stir motor untuk menghindari sebuah mobil pribadi yang berusaha menyalip bus dari arah yang berlawanan. Kita jatuh."


"Siapa yang nengejar kita? Dan apa motifnya?"


Muti menggeleng. "Aku juga enggak tahu."


"Lalu setelah itu?"


"Yang kuingat, aku sempat panik, melihat kamu enggak sadarkan diri dengan kepala yang berlumuran darah. Aku berusaha meminta bantuan orang-orang sebisaku untuk membawamu ke rumah sakit, dan aku enggak tahu apa yang terjadi setelah itu. Yang aku tahu, setelah aku sadar keesokan harinya, aku enggak menemukan kamu di rumah sakit. Aku cuma melihat Ibuku, Irgi dan Keke yang menemani aku di sana. Mereka bilang keluargamu sudah membawa kamu pulang, dan di hari itu juga aku memaksakan diri untuk menemuimu ke rumah orangtuamu, meski aku dilarang keras oleh Ibu, Keke dan Irgi! Tapi setelah sampai di rumahmu," Muti menghela napas panjang.

After 1.800 DaysWhere stories live. Discover now