14 Februari

24 6 0
                                    

Terik matahari Sabtu siang di 14 Februari 2009 membuat Ahsan terguyur peluh. Kakinya melangkah menjauhi gerbang sekolah yang menyuguhkan pemadangan tak menyenangkan mata juga hatinya.

Dari kejauhan, Ahsan melihat keangkuhan itu muncul di hadapan sang Ibu yang menjemput kakaknya. Tak ada Agan yang bermata hangat saat berhadapan dengan gadis berambut panjang itu. Tangan lembut itu pun berubah kasar menepis sebuah pemberian hadian yang diberikan Muti hingga jatuh berserakan ke tanah, tanpa alasan dan tanpa sepatah kata pun Agan melengos pergi masuk ke dalam mobil.

Irgi yang ikut menyaksikan pun berkomentar, “Kakak lu emang manusia yang enggak punya pendirian!” lalu menggeleng pelan.

Jengkel, marah, merasuk tanpa permisi menguasai hati dan pikirannya di sepanjang jalan.

“San, euren heula atuh, urang capek yeuh, leumpang jauh. Aya dua kilo mah mereun.”

(San, berhenti dululah, gue capek nih, jalan jauh. Ada mungkin dua kilo.)

Mau tidak mau, Ahsan duduk di bangku halte, menemani Irgi yang sedang mengistirahatkan diri. Sementara Irgi menenggak sebotol air mineral, Ahsan termangu memperhatikan jalan raya yang dipadati lalu-lalang kendaraan bermotor.

Sebuah angkutan umum berhenti tepat dihadapannya. Seorang siswi berjaket merah muda turun bersama beberapa penumpang lainnya. Namun yang aneh, siswi yang ia kenal bernama Muti itu tak beranjak meninggalkan halte tersebut. Dia duduk tepat di sebelahnya. Tanpa sapaan, tanpa senyuman. Mereka bagai dua orang yang tak saling mengenal satu sama lain selama beberapa menit.

“Udah gue bilang jangan deketin Kakak gue,”

Muti menoleh dan mengumbar senyum tipis.

“Masih banyak laki-laki yang lebih bisa menghargai keberadaan lu dalam situasi apa pun. Tapi kenapa lu ngeyel sih?” Ahsan menoleh menatap penuh gadis itu.

“Sakit?” sambungnya.

Muti menggeleng. “Biasa aja. Lagian itu cuma kue donat. Kapan-kapan aku bisa buat lagi.”

“Lu yang bikin?” sahut Irgi.

Muti mengangguk.

Ahsan tersenyum mendesah. “Stupid!” ucapnya berbisik, namun masih bisa Muti dengar.

Muti menghela napas. Ia pun mengakui kebodohannya. Tak sepatutnya dia menanam tonggak harapan kepada seseorang yang tak memiliki genggaman pasti.

“Kenapa enggak pulang bareng Ibu dan kakakmu?”

“Mami cuma mau ngurusin segala keperluan Agan nanti di Australia.”

“Ah?”

“Agan bakalan kuliah di sana, lu tahu?”

Muti menggeleng.

“Agan enggak ngasih tahu lu?”

“Kenapa dia harus kasih tahu aku? I am not his girl friend!”

“So, what's your reason for giving something to him? You love him! But he not like that!”

“I just care!” Muti membuang napas.

“Tapi masalahnya aku terlalu dalam menanam kepedulian itu, dan membiarkannya berubah jadi tonggak harapan.”

Muti tersenyum. “Enggak ada salahnya mengagumi, tapi aku salah kalau memang mengharapkannya.” jatuh setetes air mata ke pipinya. Cepat-cepat Muti menghapus jejak air matanya lantas melengkungkan sabit di bibirnya.

Ahsan tahu gadis itu tersakiti sejak awal. Namun, kenapa dia merasa terluka melihat senyuman yang berusaha menutupi luka itu?

“Jangan senyum! Gue enggak suka lihat senyuman lu. Gue lebih senang lihat air mata lu yang jujur!” Ahsan berkata.

Muti tertawa pendek medengarnya lalu mengangguk.

Beberapa menit ke depan, tiga remaja itu hening tertelan sendu. Tidak ada yang saling bersautan. Ahsan dan Irgi bagai memberi kesempatan Muti tuk menjatuhkan air mata.

Muti diam tertunduk menatap ujung sepatu. Tetes demi tetes air matanya jatuh tanpa ada suara isak tangis. Menguras seluruh luka yang menuai sakit di dada.

Lepas itu, berkali-kali Ahsan melihat Muti menghela napas dan mendongak, menyeka sisa jejak air mata di pipinya.

“Ini punya kamu kan?” Muti nelepas gelang tali berliontin huruf A dari pergelangan tangannya dan mengembalikan kepada Ahsan.

Ahsan mengerti. Muti tampak tidak mau mempertahankan apa pun, meski itu hanya sebuah benda kecil pemberian kakaknya.

Ahsan mengangguk dan menerimanya.

“Sori ya, beberapa bulan ini aku pakai.”

“Gue anggap lu minjam.”

Muti tersenyum dan mengangguk. “Makasih udah mau kasih pinjam.”

“Your well come.” Balas Ahsan. “Tapi ini terakhir kalinya gue ngebiarin lu minjam barang dan ngebiarin lu nangis!”

***

Langit kota Kembang Bandung di 14 Februari 2018  tak seterik sembilan tahun lalu. Gemuruh petir mulai menyertai langit mendung yang sedari tadi memayungi jalan kaki mereka dari panas.

“Lu lanjut cerita nanti. Kita cari tempat makan dulu, mau hujan.” Kata Ahsan.

Dua remaja SMA yang telah menjelma menjadi dua orang pemuda berdasi itu mempercepat jalannya. Akan tetapi hujan mendahului jalan kaki mereka yang belum juga menemukan tempat berteduh.

“Gi, warung Batagor, Gi.” Teriak Ahsan dari belakang.

Irgi mengerti. Dia segera melipir ke sebuah ruko di depannya. Ruko itu terbilang cukup besar. Warung Batagor Bandung Pak Haji Cecep ini sudah berdiri selama 33 tahun. Lebih tua dari usianya.

Irgi memesan.

Ada belasan meja pelanggan yang tersedia. Dan tak sengaja di salah satu meja, keduanya menemukan seorang wanita, sudah menatap mereka lebih dulu. Menatap Ahsan tepatnya.

“Si Muti, samperin, yuk?” ajak Irgi.

“Lu yakin mau samperin dia?”

“Kenapa emangnya?”

“Lu perhatiin deh, dia nangis ngeliatin gue?”

Irgi lebih jeli memperhatikan. Dan benar saja, ada derai air mata yang terlihat samar dari jauh menyertai bingkai ekspresi sedih wanita itu.

After 1.800 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang