Masa Lalu yang Dirindukan

49 11 2
                                    

Sambungan teleponnya berakhir ketika Ahsan menemukan Mami sudah berdiri di depan pintu mobilnya.

“Pulang bareng?” Begitulah, maminya tidak pernah berbasa-basi dalam berbicara.

Ahsan mengangguk. “Oke,”

“Tapi biar Pak Nanang yang bawa mobil.”

Ahsan menutup kembali pintu kemudi dan tanpa protes ia memberikan kunci mobil kepada sopir pribadi maminya.

Mobil Mercedes hitam itu membelah jalan dengan kecepatan sedang. Dalam waktu lima belas menit perjalanan Ibu dan Anak itu sibuk dengan ponselnya masing-masing, menyelesaikan berbagai urusan pekerjaan yang masih tertinggal, sebelum akhirnya suara Mami buat Ahsan mengakhiri kegiatannya.

“Tasya apa kabar?”

“She is good,”

“Sudah dengar kapan di akan pulang?”

“Not yet,”

“Why don’t you ask her?”

“Belum sempat.”

Mami menghela napas. “Hubungan kalian baik-baik saja kan?”

“Tentu saja. Mami kan tahu, kami pasangan yang tidak pernah bertengkar selama delapan tahun berpacaran.”

“Iya, kalian pasangan yang terlampau sempurna.”

Ahsan tersenyum. “Enggak, Mi... Kami hanya terlanjur saling mengerti.”

Mami menoleh.

“Dia mengerti kondisiku, aku pun mengerti posisi dia. Kami hanya berusaha menyelaraskan.”

Mami mengangguk paham. “Tapi Mami berharap kalian bisa segera terikat,”

“Bertunangan maksud Mami?” Ahsan menoleh.

“Apa pun itu. Menikah jauh lebih baik.”
Ahsan menghela napas. “Aku belum siap soal itu,”

Mami memiringkan duduknya. “Apa yang membuatmu belum siap?”

“Aku belum memiliki apa-apa, Mi.”

“Astaga, Ahsan come on! Mau sampai kapan kamu merasa belum memiliki apa-apa? You have everything! Right?”

Ahsan menggeleng.

“Ahsan... Please! Sudah seharusnya kamu memikirkan perasaan Tasya. Delapan tahun dia menemani kamu, dan sudah lima tahun terakhir ini dia bersedia bertahan bersama kamu yang dalam kondisi melupakan segalanya-“

“Mi!” Suara Ahsan meninggi. “Yes, I know! Tapi coba Mami pikir, ketika aku kehilangan segalanya, apa yang bisa aku kasih padanya? Harta, uang? Itu masih bisa aku cari dengan mudah, tapi arti kebersamaan, itu yang sulit aku cari selama lima tahun terakhir ini!”

Mereka saling pandang dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Kamu enggak benar-benar mencintainya?”

Ahsan membuang wajah, menatap lurus ke depan.

“Mustahil aku enggak mencintainya, kami sudah berjalan sejauh ini. Entah apa itu namanya, aku hanya merasa... hampa.” Ahsan mengusap dada.

Penjelasan Ahsan barusan cukup membuat Mami bungkam.

Untuk kesekian kalinya Ahsan menghela napas dan membenarkan posisi duduknya. “Pak, saya turun di SMA depan,”

“Baik, Mas.”

Mobil itu melipir dan berhenti tepat di depan gerbang sekolah.

“Mau ke mana kamu?”

“Aku ada janji, tapi enggak akan lama. Sebelum makan malam aku sudah di rumah.” Ahsan mencium kening maminya sebelum turun dari mobil.

Kakinya berpijak di depan gerbang sekolah, Ahsan segera mengeluarkan ponselnya dan kembali menghubungi nomor yang sempat menghubunginya beberapa saat lalu.

“Halo, gue udah di depan gerbang sekolah,”

“Gue di warung seberang, Lur,”

Ahsan mengarahkan pandangan. Senyum tipisnya timbul ketika melihat seorang laki-laki mengenakan kemeja ungu tua melambaikan tangan ke arahnya. Ia segera menyeberang jalan.

Ada empat orang pengunjung di sana, salah satunya pemuda bernama Irgi yang mengaku teman lamanya.

“Sehat, Lur?” Mereka saling berjabat tangan.

Ahsan mengangguk saja. Duduk.

“Lu mau pesan minum?”

“Enggak usah,” katanya sambil menuangkan segelas teh dari dalam teko yang tersedia di atas meja lalu meneguknya.

“Gue pikir lu enggak mau minun,”

“Gratis kan?” balas Ahsan sambil mengangkat gelas tehnya.

“Ini nih, ini yang enggak bisa gue lupa dari lu. Anak gratisan!”

Satu fakta terkuak. Ternyata apa yang dilakukan Ahsan barusan bukanlah sebuah kebetulan, tapi kebiasaan.

Ahsan tertawa. Menertawakan dirinya sendiri.

“Nih!” Irgi menempelkan sebuah foto di kening Ahsan tanpa sungkan.

Sebuah foto bukti kedekatan Irgi dengannya. Mereka berdua terlihat akrab satu sama lain yang saling merangkul mengenakan seragam putih SMA dengan coretan filok berwarna hitam, hijau, dan merah.

“Itu waktu hari kelulusan.”

“Gue kelihatan anak baik-baik,” Kata Ahsan selagi memandangi foto itu.

“Ah, baik dari mana? Lu kelihatan baik kalau dibandingin Badak Ujung Kulon!”
Ahsan mendongak.

“Ibu, bapak lu udah bosan kali bolak-balik dipanggil sekolah.”

“Bercanda lu?”

Eh, dibejaanteu percaya maneh mah! ¹ Tanya si ibu warung, berapa gorengan tempe yang lu colong tiap hari?”

¹(Eh, dikasih tahu enggak percaya kamu!)

Ahsan melirik Ibu warung yang sedang menggoreng sewajan gorengan tempe.

“Senakal itu gue dulu?”

“Lebih dari itu! Bolos sekolah, enggak ngerjain tugas, ngerokok di belakang sekolah, dan ini yang paling parah, lu kabur di jam pelajaran demi ngecengin cewek!"

“Asli?” Mata Ahsan melebar.

“Asli, Lur!” Irgi mengacungkan dua jarinya.

Ahsan menghela napas. Fakta kedua sulit ia percaya. Selama 1800 hari terakhir ini Ahsan tidak melihat ada tanda-tanda kenakalan dalam dirinya. Dia hidup seperti sebagian manusia pada umumnya yang jauh dari pandangan negatif.
Ahsan meneguk dua gelas air teh berturut-turut, hingga Irgi berpikir kalau dia sedang kelelahan.

“Sori, gue ajak lu ketemu mendadak. Karena waktu gue dengar lu udah pulang dari Kak Agan, gue kegirangan.”

“Lu ketemu Kak Agan di mana?”

“Naice Cream. Gue lumayan sering me time di sana. Gue juga dapat nomer lu dari dia.”

Ahsan mengangguk-anggukan kepala pelan.

“Lu capek? Mau gue pesenin minuman lain?”

“Bukan, gue cuma masih enggak percaya aja kalau gue senakal itu di sekolah.”

Irgi tertawa pendek. “Lima tahun di Perth, lu berubah jadi cowok alim, hidup lu adem ayem, ya,”

“Menurut lu gitu?” Ahsan berbalik bertanya.

Irgi mengangguk. “Karena gue lihat hubungan lu sama Kak Agan juga membaik, bahkan jauh lebih baik, gue senang lihatnya.”

Kening Ahsan mengerut samar. “Maksud lu gimana?”

“Setanah Sunda juga tahu kalau lu sama kakak lu itu bagai gurun sahara dan kutub utara. Lu sama kak Agan selalu bertolak belakang, enggak pernah singkron. Contoh kecilnya, dulu mana mau lu foto bareng sama Kak Agan kayak foto-foto lu sekarang di social media.” Irgi menyeruput sedikit kopi panasnya.

After 1.800 DaysWhere stories live. Discover now