Tanah Kosong

23 5 0
                                    

“Gue enggak tahu harus ngomong apa?”
Irgi tidak jadi melahab satu sendok es krim coklatnya. Ia mendongak, mendapatkan wajah lesu sahabatnya.

“Lu gimana sih? Tadi di telepon lu maksa gue buat cepet-cepet datang ke Naice Cream. Sekarang gue udah di sini lu enggak tahu mau ngomong apa? Gila lu kumat, ya?” tanya Irgi tanpa basa-basi.

Ahsan tidak langsung menjawab. Ia menatap sahabatnya itu lama-lama, lalu menghela napas panjang. “Semalam gue liat Muti di anterin pulang sama laki-laki lain.”

Irgi yang baru saja meraih sendok es krim, tiba-tiba tertegun. “Oh, ya? Siapa laki-laki itu?”

“Katanya sih, teman. KA-TA-NYA!”

“Kakak lu, tahu?”

Ahsan mengangguk. “Gue udah kasih tahu dia.”

“Terus responya?”

“Biasa aja, gue enggak ngeliat dia cemburu sama sekali.”

“Oh… ya, udah.”

Kening Ahsan mengerut samar. “Kok, ya udah, sih?”

“Terus lu mau gue gimana? Agan sendiri enggak cemburu, ya udah, apa harus gue yang kesel? Enggak kan?”

“Tapi gue enggak suka ngelihatnya!”

Irgi tersenyum mendesah, lalu memegang dada Ahsan. “Panas! Oke, besok gue beliin lu obat penenang perasaan.” Irgi terbahak setelahnya.

“Aiss!” Ahsan mengumpat.

Di waktu yang bersamaan, gemerincing lonceng di atas pintu menyita perhatian keduanya. Irgi mendongak dan Ahsan menoleh ke belakang.

“Hei, Mut.” Sapa Irgi lebih dulu.

Muti tersenyum sambil melambaikan tangan.

Aneh. Melihat keberadaan wanita itu di hadapannya, berhasil mengentakan keras debar jantungnya. Kesal yang menunpuk penuh telah berubah menjadi amarah dalam sekejap.

Ahsan berdiri bersama sekian banyak kalimat di kepalanya yang siap ia muntahan ke wanita itu. Dengan langkah pelan, ia mendekati Muti.

“Mau apa kamu datang ke mari?” tanya Ahsan dengan nada dingin.

“Aku mau menjelaskan soal semalam-“

“Enggak ada yang harus kamu jelaskan. Semua sudah jelas bukan? Kamu mengkhianati kakakku!”

“Sepertinya kamu salah paham, San.”

“Menurutku tidak. Jelas-jelas kamu makan malam berdua dan di antar pulang oleh laki-laki lain. Lalu kamu anggap Agan apa? Dan apa pantas seorang ibu meninggalkan anaknya hanya untuk bersenang-senang sendirian di luar sana bersama seorang laki-laki? Kamu tahu gimana khawatirnya Rerey sama ibunya semalam?”

Muti menundukan sedikit wajahnya. Tampak rasa bersalah itu mendominasi ekspresianya.

Ahsan mengangguk-angguk pelan, lalu berkata, “Sekarang aku mengerti kenapa kedua orangtuaku tidak pernah merestui hubungan kamu dan Agan. Mungkin karena mereka tahu, kamu bukan wanita sebaik yang terlihat!”

Kening Muti mengerut samar. Lain halnya  dengan dua orang di balik etalase es krim, kegiatan Keke dan Agan seketika terhenti, ketika kalimat terakhir Ahsan menembus telinga keduannya. Irgi sendiri, menyudahi makannya. Besar perhatiannya terhadap kalimat dan sikap sahabatnya saat ini, mengubah es krim coklat di hadapannya tak lagi menarik di matanya.

“Aku enggak suka Agan masih punya hubungan sama perempuan enggak bener seperti kamu!”

Telak, tanpa diduga Agan memberi bogeman mentah di wajah Ahsan.

Semua yang menyaksikanya terpekik.

“Jaga ucapan lu! Muti bukan wanita seperti itu!”

Ahsan tersenyum miris sambil menyeka setetes darah di sudut bibirnya. “Lu masih percaya sama dia?”

“Mm!” Agan mengangguk mantap.

Sekali lagi Ahsan tersenyum miris bersama wajah kecewa. Terlebih lagi ketika ia melihat betapa eratnya jemari Agan menggenggam lengan Muti.

“Terserah, gue enggak akan pernah peduli lagi sama semua urusan hidup lu, Kak. Dan kamu!” Ahsan menunjuk tepat di wajah Muti. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!”

Sejenak Muti tidak berkata apa-apa, dia hanya menatap Ahsan tanpa berkedip. Hingga setetes air mata itu jatuh bersamaan dengan sederet kalimat yang meluncur dari mulutnya, “Oke, aku pergi! Kalau menurutmu itu memang yang terbaik. Tapi dengar, jika kamu mengingat sesuatu, jangan pernah mencariku!” Berakhirnya kalimat itu, berakhir pula sabaranya Muti untuk bertahan di tempat itu. Dia keluar membawa segudang sedih yang tersembunyi.

Agan menghela napas. “Satu yang harus lu tahu. Semua ucapan lu ke Muti barusan, lebih pantas buat lu. Lu bukan laki-laki sebaik yang lu pikir. Lu adalah laki-laki terbodoh lebih dari yang lu sadari!” nada bicaranya sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya, namun sorot matanya tak kalah sengit.

Ahsan mengepal jemarinya kuat-kuat, dia menatap marah Agan yang pergi menggunakan sedan putih bersama Muti. Entah ke mana, dia tidak peduli.

Dengan susah payah Ahsan menarik napas dan membuangnya, setidaknya dia bisa meredakan amarah.

***

“Kenapa lu marah-marah sih sama Muti? Gini kan jadinya,” kata Keke sambil mengobati luka di sudut bibir Ahsan.

“Udah gue bilang, gue jengkel sama dia!”

“Belum tentu dia beneran selingkuh,”

“Ke, gue lihat dengan mata kepala sendiri, dia pulang di anterin cowok lain. Dan gue enggak terima dia ngehianatin Agan!”

“Lu jengkel karena memang enggak terima Muti ngekhianatin Agan atau karena lu yang cemburu?”

Ahsan menatap Keke penuh. Kalimat Keke membawanya ke dalam sebuah ruang renungan. Pun hingga saat ini Ahsan tak mengerti alasannya mengapa kejengkelan itu muncul dan bisa berubah menjadi amarah dalam waktu singkat? Mungkinkah dirinya memang terlambat menyadari jika perasaan itu adalah sebuah kecemburuan?

“San, gue sama Irgi udah kenal lu lama. Bahkan sebelum lu melupakan semuanya. Dan, ya begitulah Ahsan. Marah lu ke Muti enggak ada arti lain kalau bukan cemburu. Mungkin lu enggak menyadari itu, tapi kita udah biasa lihat lu seperti itu! Iya, kan Gi?”

Hening sejenak. Ahsan menatap Irgi yang terduduk diam sedari tadi di hadapannya.

Irgi mengangguk-angguk pelan, lalu bergumam. “Lu udah keterlaluan.”

Irgi mengangkat kepalanya dan menatap Ahsan. “Kali ini gue setuju sama Kak Agan, enggak sepantasnya lu ngomong kasar seperti tadi.”

Kalimat itu membuat Ahsan membeku.

“Seandainya lu tahu gimana susah payahnya dia menelan perasan pahitnya seorang sendiri. Gimana tegarnya dia berdiri di tengah caci maki mereka. Lu bakal menyesali ucapan lu tadi.”

Ahsan mengerutkan kening, dia menatap Irgi bingung. “Mereka siapa? Gue enggak ngerti maksud lu. Kenapa seolah-olah lu jadi nyalih gue?”

Irgi menghela napas sekaligus. Dia sendiri pun tidak tahu bagaimana lagi harus menyusun kalimat agar Ahsan paham maksudnya. Mungkinkah cerita lima tahun lalu itu sudah lenyap tertumpuk sekenario manusia? Seandainya ia punya kuasa atas hidup sahabatnya, mungkin jalan itu akan tetap pada benang merahnya.

“Gi, mending lu ajak dia ke tanah kosong, gih,” Gumam Keke.

“Percuma, gue enggak punya penjelasan untuk itu. Kasihan dia nanti.”

“Ya, seenggaknya dia tahu dulu.”

Ahsan menatap kedua sahabatnya bingung. “Tanah kosong apaan?”

Keke menyikut-nyikut Irgi, meminta laki-laki itu mensetujui rencananya.
“Ah… iya-iya!” Irgi terpaksa berdiri. “Lur, mana kunci mobil lu?”

Ahsan mendongak menatap Irgi yang kelapang kesal, lalu memberikan kunci mobilnya.

“Ikut gue!”

Mobil sedan hitam itu membelah jalan dengan kecepatan sedang. Tidak ada protes darinya, Ahsan hanya bisa diam di kursi penumpang, pasrah, dia ikut kemana pun Irgi membawanya.

Sekitar lima belas menit perjalanan, mobil itu terparkin di salah satu kawasan pemakaman umum.

Meski dibelenggu bingung, kakinya dibiarkan mengikuti jejak langkah Irgi dari belakang.

Ahsan menelisik sekitar sambil mengangingat-ngingat, kapan terakhir kali dia datang ke tempat ini? Isi kepalanya berputar kebelakang mencari jawaban. Hingga di mana jawaban itu muncul setelah kakinya semakin jauh masuk ke dalam area pemakaman.

Ya, Ahsan yakin, ia pernah menginjakan kaki di sini, menyaksikan seorang anak lima tahun yang merindukan ayahnya sore itu.

***

Sedan hitam itu kini terparkir di pelataran rumahnya, tepat sejajar dengan mobil Alpart hitam milik seorang pengusaha, Diwan Darmono.

Alih-alih mengulur waktu, Ahsan duduk termangu di belakang kemudi. Langit yang menggelap sejak dua jam yang lalu tak buat ia ingin segera beranjak dari posisinya.

Ahsan frustasi. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya Mami, Papi, dan Agan mau darinya?

Ia memukul-mukul stir dengan penuh amarah, melampiaskan marahnya sendiri.

Kejadian siang tadi bagai film yang di putar otomatis di kepalanya. Ahsan ingat betul bagaimana sebutir air mata itu jatuh bergulir di pipi Muti.

Naice Cream adalah saksi bisu ketika ucapannya bak belati yang tepat menyayat titik terlemah lawan.

“Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!”

Untuk kesekian kali kalimat itu terus terngiang di kepalanya.

“Oke, aku pergi! Kalau menurutmu itu memang yang terbaik. Tapi dengar,  jika kamu mengingat sesuatu, jangan pernah mencariku."

Ya, dia memang meminta Muti tuk pergi, namun jawaban terakhir Muti  berhasil buat jantungnya berhenti beberapa detik, karena dia tahu perempuan itu tidak bercanda dengan ucapannya.

Sekali lagi Ahsan memukul stir sambil berteriak. Sedihnya tak terbendung lagi, mengingat bagaimana ia berlutut di atas gundukan tanah berselimut rumput jepang.

Tanah kosong yang Keke maksud bukanlah hamparan lahan tanah kosong penuh ilalang atau rumput liar, akan tetapi sepetak makam bertuliskan namanya di atas batu nisan.

“Gue enggak bisa ngasih lu penjelasan. Cuma Muti dan keluarga lu yang berhak menjelaskan alasannya.”

Hatinya menjerit perih. Sepasang kaki itu beranjak lari meninggalkan Irgi. Mobil sedan hitamnya membelah jalan menuju kawasan perumahan. Tepat di depan rumah nomor delapan, Ahsan menghentikan mobilnya.

Ahsan turun dari mobil dengan terburu-buru, menggedor pintu sambil meneriakan satu nama, Muti.

“Iya, tunggu sebentar.” Terdengar jawaban dari dalam.

Pintu dibuka lebar. Anin terkejut oleh kedatangan Ahsan dengan kondisi tak keruan.

“Nak, Ahsan?”

“Muti ada Bu?”

“Muti belum pulang.”

Ahsan menghela napas kecewa.

“Ada apa, Nak? Kenapa wajahmu bisa biru-biru begini? Kamu bertengkar? Siapa yang memukulmu?” Anin menyentuh ringan wajah Ahsan.

“Agan,” ucapnya pelan nyaris berbisik, tapi masih bisa Anin dengar.

“Agan? Kakakmu?”

Ahsan mengangguk.

“Kenapa? Apa yang buat dia memukulmu sampai seperti ini?”

“Bu,” guman Ahsan bergetar. Laki-laki itu menatap Anin dengan sorot mata nyaris sedih.

“Ya?” Anin membalas tatapan Ahsan dengan resah.

“Ibu bilang, dahulu aku sering sekali datang ke sini, meski hanya untuk tidur di atas sofa ruang tamu,”

Anin mengangguk.

“Sebenarnya, apa hubungan aku dengan Muti? Seberapa dekat kami berdua?”

“Kenapa kamu bertanya hal itu?”

“Ada yang janggal menurutku. Ketika perasaanku mengatakan kalau aku mencintai dia, semua orang di sekelilingku menentang itu, dan ketika aku meluapkan betapa aku membencinya, mereka begitu menyalahkanku. Aku tidak mengerti dengan semua itu, mereka seolah ingin menjauhkan aku dengan Muti tanpa aku harus meninggalkan sebuah perasaan apa pun. Mencintai ataupun kebencian.”

Kalimat Ahsan bergema dalam heningnya Anin. Ungkapan laki-laki di hadapannya itu berhasil mencengkram dadanya dalam rasa bersalah.

“Aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan dari aku. Dan Ibu tahu sesuatu yang Ahsan masksud kan? Tolong bantu Ahsan, jangan biarkan aku hidup dalam penyesalan. Tolong, Bu…” Ahsan menggenggam erat jemari Anin.

Anin menghela napas lalu mengangguk seperti bersepakat sendiri. “Ayo, ikut Ibu, Nak Ahsan.”

Ahsan membiarkan langkahnya mengikuti Anin dari belakang. Suasana rumah itu bak mengucapkan selamat datang kepada sebuah kerinduan akan ketenangan dan kenyamanan di tempat asing. 

Kaki Ahsan berhenti di ruang tengah. Pandangannya tertuju kepada sebuah  lemari telivisi. Ia memperhatikan bagaimana mudahnya tangan Anin mengambil sebuah bingkai foto di salah satu rak lemari.

“Ini,” Anin memberikan bingkai fotonya.

Tersentak, Ahsan tidak bisa langsung berkata-kata. Ia hanya menatap bingkai foto itu bingung.

“I-ini?”

Anin hanya tersenyum tipis sambil mengusap-ngusap pundak Ahsan.

“Dia selalu menunggu kamu, Nak.” Ucap Anin parau.

Perasaanya terlanjur dicengkram rasa bersalah hingga ingatan demi ingatan kejadian beberapa jam yang lalu itu tak bisa ia hentikan.

Saat itulah dia sadar dan membenarkan ucapan Agan, bahwa dia adalah laki-laki paling bodoh lebih dari yang dia sadari.

***

Ketika menginjakan kaki di ruang tamu Ahsan mengangguk sopan kepada empat pasang mata yang menyambutnya.
Kedatangannya sudah di tunggu sejak tadi. Terutama oleh Diwan Damono, pria itu menatap Ahsan dengan raut menahan marah.

“San, duduk. Ada yang ingin kami bicarakan.” Pinta Papi.

Dia tidak menolak, Ahsan lekas duduk di sebelah Maminya. Di hadapan Diwan, Tasya dan kedua orangtuanya, Ahsan masih belum bisa mengangkat suara, meski ia tahu situasi apa yang sedang ia hadapi, namun ia belum tahu harus bersikap seperti apa, di satu sisi perasaannya masih tercengkram ego atas kekecewaan terhadap keluarganya namun di sisi lain ia pun harus bisa menempatkan diri sebagai seorang laki-laki dewasa dan bijak.

“Anak sialan! Apa kamu tidak diajarakan etika oleh orangtuamu? Kamu anggap  anak saya ini apa?!”

Ahsan menghela napas panjang. Dia telah menduga jika dirinya akan mendapatkan kata-kata makian dari mulut pria berusia lima puluh tahunan itu.

“Maaf, Om. Ahsan membatalkan pertunangan dengan Tasya secara sepihak. Tapi ini sudah menjadi keputusanku. Ahsan tidak bisa menikah dengan Tasya.”

“Apa alasanmu tidak bisa menikah dengan Tasya, apa yang kurang dari dia? Coba kamu jelaskan sama kita semua,” pinta Mami.

Ahsan diam sejenak. Kelapanya berputar untuk mencari kalimat penyampaian yang tepat.

“San,” Panggil Papi.

Ahsan mengangkat wajah dan menatap Tasya yang duduk tepat di sebarangnya. “Tasya sudah tahu salah satu alasannya. Apa dia tidak menceritakannya kepada kalian, bagaimana dia mengawali hubungan kami dengan sebuah kebohongan,”

Perempuan itu tertunduk. Dan Ahsan mengenali kilasan mata sedih itu.
Ahsan merogok saku kemejanya. “Dan satu alasan lagi. Aku rasa, Tasya pun enggan menikahi ayah dari satu orang anak.”

Luna terpekik kaget, dan menelan ludah dalam-dalam menatap selembar foto yang Ahsan jatuhkan ke atas meja.

"Dari mana dia mendapatkannya?" Luna membatin.

Diwan mengambil selembar foto itu. Foto yang menunjukan Ahsan dalam balutan jas hitam bersama seorang wanita bergaun putih pengantin.

“Apa maksudnya ini?”

Ahsan menoleh ke arah orangtuanya. “Jadi, apa yang bisa Mami dan Papi jelaskan mengenai foto itu kepada kami bertiga?”

***

"Maaf Pak Dirwan, ada satu hal yang perlu anda tahu. Foto itu bukan rekayasa. Anak kami, Ahsan memang pernah menikah sebelumnya."

Ahsan menghela napas di tengah lamunan panjangnya. Dingin, heningnya malam di teras belakang rumah menjadi teman terbaik saat ini. Dia duduk termangu, menatap penuh jernih air kolam renang di hadapannya, akan tetapi hati dan kepalanya membawa Ahsan pergi meninggalkan tempatnya bepijak sekarang, menjelajahi pristiwa yang terjadi hari ini.

Pengakuan sang Ayah dua jam lalu, sunggu mengejutkan dirinya. Bagaimana tidak, lima tahun lamanya mereka berhasil membiarkan dia hidup di dalam dunia penuh kebohongan.

Mereka menyembunyikan seluruh cerita masa lalunya demi mencapai tujuan pribadi.

“Ini?”

Ahsan menoleh kemudian menggeleng, menolak rokok pemberian papinya.

“Kamu belum tidur?”

“Belum bisa. Masih banyak yang kupikirkan.”

Papi membuang napas. “Soal tadi…”

“Kenapa kalian begitu tega kepadaku?”

“Itu-“

“Aku enggak butuh alasan, aku cuma butuh jawaban! Why?

“Bagi Papi, memisahkan adalah keputusan terbaik bagi kalian saat itu. Demi menyelamatkan kamu pasca kecelakaan.”

“Lalu Muti?”

“Dokter bilang saat itu dia tidak mengalami luka yang serius.”

“Tapi bukan berarti karena dia tidak mengalami cidera kepala parah sepertiku, kalian membiarkannya.”

“Ya, Papi tahu. Apa pun maksud baik Papi saat itu akan terkesan salah di matamu saat ini.”

Hening sejenak.

“Bagaimana dengan Mami? Apa Mami juga punya maksud yang sama dengan Papi? Atau bahkan tidak?”

“Tidak ada orangtua yang tidak sayang kepada anaknya, bukan berarti Mami melakukan semua itu karena membencimu.”

“Mami memang tidak membencinku, tapi membenci hubunganku dengan Muti. Benar begitu?” Ahsan menoleh.

Tidak ada jawaban dari Papi, dia hanya membuang napas panjang. Dan Ahsan menganggap itu sebagai jawban ‘Iya’.

“Apa Mami dan Papi benar-benar menentang pernikahanku dengannya?”

“Papi tidak pernah menentang, hanya saja caramu yang tidak tepat.”

Ahsan menoleh. Ia tidak lepas menatap wajah Papi.

“Kamu pergi dan menikahi gadis itu tanpa mengundang kami. Coba kamu pikir, apa itu adalah sebuah kebaikan?”

Ahsan mengerutkan kening.

“Dari awal saja caramu sudah salah.”

“Aku pasti punya alasan kenapa melakukan itu.”

“Ya, tentu.” Papi mengangguk pelan. “Kamu ingat alasannya apa?”

Ahsan menggeleng.

“Karena kamu sangat tersinggung oleh ucapan Mami. Kamu begitu kecewa saat Mami menentang hubungan dan rencana pernikahan kamu dengan Muti.”

Muti itu siapa sih? Anak pengusaha bukan, anak pejabat apa lagi! Dia cuma anak mantan guru olahraga di SMA kamu. Setidaknya kamu bisa menikahi wanita yang lebih baik dari dia, yang lebih berpendidikan, yang kuliah di luar negeri, bukan buruh pabrik yang putus kuliah macam dia! Ingat Ahsan, kalau kamu bersikeras menikahi dia, jangan pernah menginjakan kaki kamu di rumah ini lagi! Karena Mami enggak sudi punya menantu seperti dia!

Papi tersenyum tipis. Perkataan Luna bagai suara kemarin yang masih terngiang jelas di telinganya.

“Jangankan dahulu, malam ini saja aku mendengarnya dari Papi, perasaanku tersinggung.” Ahsan mengusap dadanya.

Papi menghela napas. “Maaf Ahsan, seharusnya Papi bisa lebih tegas sebagai kepala keluarga saat itu. Kalau saja Papi tidak hanya memikirkan perasaan Mamimu, mungkin ini semua tidak akan terjadi. Tidak akan ada penyesalan dalam diri Papi.”

“Apa yang Papi sesali?”

“Papi terlalu memanjakan Mamimu. Sampai akhirnya Papi merasa tidak memiliki kuasa sebagai kepala rumah tangga. Papi terlalu membiarkan Mamimu terjebak dengan obsesinya. Sampai Papi merasa tidak bisa menjadi Ayah yang baik untuk kamu dan Agan, karena tidak bisa memahami perasaan kalian berdua.” Papi menepuk pundak Ahsan. “Maafin Papi, San.”

Ahsan mengangguk-anggukkan kepala. “Jangan diulangi lagi, ya?”

Papi pun mengangguk-angguk.

Mereka berbalas senyum, hingga akhirnya senyum itu berubah menjadi tawa ringan.

“Papi perhatikan kamu tidak pernah merokok lagi?”

“Aku sudah berhenti merokok.”

“Sejak kapan?”

“Semenjak aku kalah berdebat sama anak kecil usia lima tahun. Dia menasehatiku gimana bahayanya rokok saat aku menasehatinya tentang buruknya coklat buat kesehatan giginya.”

Papi tertawa pendek. “Ada-ada saja kamu ini.” Papi menghisap sebatang rokok yang baru saja dibakar dan menghembuskannya hingga menciptakan asap tipis di depan wajahnya.

“Ngomong-ngomong soal anak kecil. Apa benar kamu Ayah dari satu orang anak?”

“Entahlah, aku belum membuktikannya.”

“Bagaimana bisa tahu, kalau kamu adalah Ayah dari satu orang anak?”

“Aku sering bertemu anak itu di Naice Cream. Agan selalu menemaninya di sana sebelum Muti menjemput anak itu sore hari. Bahkah beberapa kali aku mengajaknya makan dan main berdua. Satu lagi, anak itu keras kepala, susah dibilangin sama seperti aku.”

Papi lagi-lagi tertawa pendek. “Agan sudah tahu?”

“Mungkin. Entahlah…” Ahsan menoleh. “Ayah tahu aktor paling hebat di keluarga kita?”

“Kamu?”

Ahsan menggeleng. “Dia orang yang paling pandai menyembunyikan perasaan dan ekspresinya. Agan!” Ahsan beranjak dari duduknya, namun kakinya berhenti, dia sedikit tersentak saat menemukan Agan berdiri di amabang pintu sambil menggeleng pelan, seolah-olah menepis sederet kalimat yang ia dengar dari mulut adiknya barusan.

“Dia hanya terlanjur sabar,” ucap Papi sambil menepuk-nepuk pundak anak bungsunya, lalu pergi masuk mengikuti Agan yang lebih dulu meninggalkan ambang pintu teras belakang.

***

Hai, hai, hai... Temaraniaaa...

Akhirnya aku kembali setelah dua minggu menghilang dari cerita ini hehehe..  🤭

Tapi gimana hampir 3000 kata di bab ini bisa mengobati rindu kalian ga?

Kuharap begitu ya...

Oke deh, jangan lupa like dan komen ya supaya Author semakin semangat lagi nulisnya.

Selalu jaga kesehatan Temarania...

Love 💚

After 1.800 DaysWhere stories live. Discover now