Memilihnya

9 2 0
                                    

Dari dapur, Agan mendengar kedua orangtuanya berbicara serius di ruang keluarga. Bagaimana Mami meluapkan kekhawatirannya terhadap Ahsan yang sudah 24 jam tidak diketahui keberadaannya.

“Teleponnya enggak aktif, Pi… Mami takut dia kenapa-kenapa lagi.”

“Kita tunggu beberapa jam kedepan, kalau malam ini dia belum juga kembali, baru kita lapor polisi.” Firman berusaha tenang menghadapai kekhawatiran Luna.

“Dia pasti pergi dengan perempuan itu Pi, Mami yakin!”

“Jangan suka menuduh orang lain. Mungkin saja Ahsan pergi karena kecewa sama kita.” Kata Agan sambil berjalan menghampiri kedua orangtuanya.

“Menurutku wajar kalau Ahsan memilih pergi.” Agan duduk di sebelah Mami lalu meneguk segelas mug teh yang di bawanya.

“Kecewa? Untuk apa dia kecewa? Kita melakukan semua ini demi kebaikan dia,”

“Kita?” Agan menoleh.

“Mami enggak pernah menanyakan pendapat aku dan Papi soal apa pun. Semua Mami lakukan atas keputusan Mami sendiri. Egois!” ucap Agan berbisik di akhir kalimat.

“Egois kamu bilang?”

“Ya! Dari dulu Mami selalu mengambil keputusan sendiri, tanpa pernah bertanya apa suami dan anak-anak setuju atau enggak. Dan bohong kalau Mami bilang apa yang Mami lakukan itu demi kebaikan kami! Semua Mami lakukan untuk mencapai tujuan pribadi Mami, menutupi gengsi di hadapan teman dan keluarga Mami. Sudah jelas bukan, itu semua untuk kebahagiaan Mami sendiri! Bukan untuk aku, Papi atau Ahsan!”

“Agan!” sentak Luna.

Papi mengangkat tangannya, meminta Luna untuk memberi kesempatan Agan bicara.

“Sudah cukup aku diam, sudah cukup aku menuruti semua keinginan Mami. Sekarang waktunya aku bicara.” Agan menaruh mug di meja.

“Kegagalanku mengelola perusahaan keluarga dan kondisi Ahsan sekarang, itu semua karena Mami!”

“Apa maksud kamu?!”

“Seandainya saat itu Mami mau merestui pernikahan Ahsan dengan Muti, kecelakaan itu tidak akan terjadi! Dan mungkin aku tidak akan pernah menjadi pemimpin perusahaan yang gagal.”

“Agan, kamu ini bicara apa?!”

I know! Aku tahu semua! Di hari kecelakaan Ahsan dan Muti, Mami kan yang menyuruh preman-preman itu untuk mengejar dan membawa Ahsan pulang demi memisahkan dia dengan isrinya. Mami pikir aku sepolos itu untuk enggak curiga dengan semua yang Mami lakukan? Sayangnya aku bukan Papi yang mudah Mami bohongi.”

“Astaga…” tubuh tegapnya luruh saat itu juga. Firman terkulai lemas di sandaran kursi.

“Pi… M-Mami bisa jelasin-”

“Sudah, jangan mengatakan apa pun. Aku tidak ingin mendengarnya!” ucap Papi sambil memijat keningnya.

Sebisa mungkin Agan menahan suaranya agar tetap tenang. “ Sorry, aku harus mengakatannya, Mi.”

“Kenapa Mami melakukan itu?!”

Semua mendongak.

Lama tak terdengar apa-apa diantara ketiganya ketika mendapatkan kemunculan Ahsan dari balik tembok.

“Mi?” Ahsan menatap Mami tak percaya.

“A-Ahsan, ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan,” ucap Luna terbata.

But it’s truth! Aku sudah mendengar kronologi kecelakaanku dari Muti. Tapi-“ Ahsan memegang keningnya. “Why? Setidak pantas itu kah Muti di mata Mami? Sampai Mami meminta preman-preman itu untuk memisahkan kami berdua?!”

“Ahsan,” Luna menghampirinya. “Mami melakukan itu semua demi kebaikan kamu!”

“Kebaikan apa yang Mami maksud? Lihat aku sekarang, Mi, lihat! Aku kehilangan seluruh memori hidupku. Mami pikir aku senang? Aku bahagia dengan kondisi aku saat ini?” Ahsan menggeleng pelan. “Nggak, Mi. Aku sangat tersiksa! Aku merasa menjadi orang terbodoh di dunia! Aku enggak nyangka Mami setega itu sama aku. Ahsan kecewa sama Mami. Sangat!” Ahsan melengos pergi.

“Ahsan tunggu, Mami minta maaf! Maafin Mami, Ahsan…”

Agan menahan Mami yang ingin mengejar Ahsan ke lantai dua. “Cukup, Mi.”

“Tapi Mami harus bicara sama adikmu, Ahsan harus mendengarkan penjelasan Mami.”

“Tidak ada penjelasan yang perlu Ahsan dengar lagi, semua sudah jelas. Ahsan sudah mengetahui semuanya. Sekarang giliran Mami yang harus mendengarkan Agan. Dengar baik-baik, aku dan Ahsan sudah melewati usia 25 tahun. Yang kami butuhkan sekarang hanya satu, restu Mami dan Papi. Aku akan menikahi Tasya dalam waktu dekat. I choose her!”

Mami dan Papi sama-sama terpaku.

“Tapi ini bukan demi perusahaan kita yang terlanjur memiliki kontrak kerjasama dengan Pak Diwan, tapi demi masa depanku.” Agan berdiri. “Jadi, biarkan Ahsan juga bahagia dengan pilihannya!”

Tegas!

Agan mengutarakan pernyataan yang berhasil menghentikan langkah adiknya di tengah-tengah anah tangga.

Ahsan menoleh, kakaknya itu berjalan menaiki anak tangga, melewati dirinya tanpa menoleh lagi. Tak ada pula sayup balasa dari orangtua mereka. Perkataan Agan barusan bak kejutan di siang bolong bagi Luna dan Papi, terlebih untuk Ahsan.

***

Naice Cream memberikan pemandangan yang berbeda siang ini. Seorang perempuan dalam balutan celemek berwarna merah muda menyita seluruh perhatiannya. Perempuan itu mengumbar senyum ramah, melayani beberapa pelanggan di sana.

Dan sontak perempuan itu terkejut lalu mengumbar senyum kaku kepadanya. Tanpa saling bertegur sapa, Ahsan membiarkan perempuan itu berjalan melewatinya ke balik etalase es krim menghampiri Agan. 

Ahsan menghela napas dan menggeleng pelan, dikala menemukan dua sejoli yang sedang dimabuk asmara.

“San,” Agan menyapanya dari balik etalase.

Ahsan melambaikan tangan dan masuk ke privat room.

Agan mengikutinya, membawa semangkuk es krim warna-warni yang ditaburi kacang almon dan sebuah ceri di atasnya.

Ahsan tersenyum mendesah. “Lu mau nyuap gue?”

“Makan aja dulu, gue tahu lu cape.”

Ahsan memakan suapan demi suapan es krim di hadapannya. Sesekali matanya melirik Tasya yang tampak begitu semangat melayani pelanggan di luar sana.

“Dari kapan dia di sini?”

Agan berdeham. “Dua hari lalu.”

“Kerjaan dia gimana?”

“Dia keluar dari kerjaannya.”

“Terus dia minta kerja di sini dan lu bolehin, gitu?”

“Ya, mau gimana lagi. Dia udah merelakan kerjaannya buat bantuin gue di sini.”

Ahsan menghela napas.

“Oh, ya, gimana urusan lu sama Muti? Kelar?”

“Begitulah, dia udah jelasin semua sama gue.”

“Soal Rerey juga?”

Ahsan mengangguk. “Awalnya dia masih menutupi kalau Rerey itu anak gue, tapi ketika Rerey membutuhkan donor darah, dia baru jujur kalau Rerey itu anak gue.”

“Donor darah? Rerey kenapa?”

“Semalam dia ketabrak mobil, sampai harus di rawat.”

“T-terus kondisinya sekarang gimana?” Agan berubah panik.

“Dia udah jauh lebih baik. Dokter bilang kalau kondisinya malam ini udah mulai stabil, dia bisa pulang.”

“Syukurlah Tuhan…”

“Lu sebegitu khawatirnya sama Rerey?”

“Iyalah! Gue ngurusin dia dari usia dua tahun sampai segede sekarang.” Agan menghela napas lega. “Kenapa Muti enggak kabarin gue sih?!”

“Dia juga masih syok. Jadi maklumi aja.”

Agan mengangguk-anggak paham.

“Muti bilang, naice cream ini rintisan usaha gue sama dia, bener?”

Agan mengangguk.

“Kenapa sekarang lu yang jalanin?”

“Lu pikir gue mau rugi ratusan juta, gara-gara lu sama Muti enggak becus ngurusin Naice Cream?”

“Sebentar, maksud lu gimana?”

Agan menghela napas. “Naice Cream ini dibangun dari hasil uang yang lu pinjem sama gue. Satu tahun lu ngilang enggak ada kabar setelah nikah sama Muti, lu datang ke gue, mau minjem duit buat bangun usaha. Ya, sebagai Kakak yang baik akhirnya gue kasih pinjam lu uang sesuai yang lu butuhkan, dengan satu syarat, lu enggak boleh ngilang lagi dari keluarga. Dan lu mensetujui itu.”

“Dan sepertinya keputusan gue mensetujui kesepakatan sama lu salah. Karena itu akhirnya gue kehilangan semua.”

“Itu semua di luar perkiraan gue. Gue juga enggak nyangka kalau niat baik gue untuk mengutuhkan keluarga malah bikin semuanya jadi tambah runyam. Sorry, San. Gue enggak pernah bermaksud bikin hidup lu berantakan. I’m so sorry.”

Ahsan tersenyum mendesah. “It’s ok. Udah jalan hidup gue kayak gini, apa mau dikata.” Ahsan melahab sesendok es krimnya lagi.

“Jadi keputusan lu kemarin di depan Mami dan Papi itu beneran? Apa cuma buat menebus rasa bersalah lu ke gue?”

“Beneran! Gue emang punya rasa sama dia. Tasya cantik, dia perempuan baik-baik sebenarnya. Dia enggak sejahat yang lu pikir.” Ucap Agan sambil menatap Tasya di luar sana.

“Ya, seandainya dia enggak pernah bohong sama gue, seratus persen gue setuju sama pendapat lu.”

Kedua Kakak beradik itu saling berbalas senyum.

“Gue mau ke rumah sakit lihat kondisi Rerey, lu mau ikut?” Ahsan berdiri dari duduknya.

“Oke, gue ikut. Tunggu sebentar, gue ganti baju dulu.”

***

“Om Agan…” Rerey begitu antusias menyambut kedatangan Agan.

“Rerey sayang…” ucap Agan yang langsung memeluk anak itu. “Rerey kenapa?”

“Kemarin aku ditabrak mobil,"

“Ya, Tuhan… kok bisa?” Agan mendongak menatap Muti. “Mut, kamu kok enggak kabari aku?”

“Maaf Kak, aku terlalu khawatir saat itu. Jadi aku belum sempat kasih kabar ke Kakak.”

“Lain kali, jangan begitu lagi. Kalau ada apa-apa sama Rerey, kabari aku juga.”

“Iya, Kak.”

“Jadi apanya yang sakit? Kepala kamu sakit, iya?” Agan kembali ke Rerey. Mengusap kepala anak itu yang dibalut kain kasa.

“Aku udah enggak apa-apa kok, Om. Aku kan jagoan!”

“Oh iya, kamu kan anak jagoan. Keponakan siapa dulu dong?”

“Om Agan…” ucap Rerey dan Agan bersamaan.

Ahsan dan Muti tersenyum mendengarnya.

***

Dua hari sudah mereka menghabiskan waktu di rumah sakit dan siang ini mobil sedan berwarna hitam itu berhenti di depan rumah Muti. Ahsan menghambur keluar sambil memangku Rerey ke kamarnya.

Ahsan tersenyum, melihat anak itu lompat-lompat kegirangan di atas kasurnya, sambil berseru, “Aku pulang… aku pulang…”

“Rey, hati-hati nanti jatuh.” Ucap Ahsan.
Rerey berhenti melompat, dia terduduk manis seraya Ahsan duduk di kasurnya.

“Sini, Om punya hadiah buat kamu.”

Mata cokelat Rerey mengerjap-ngerjap. “Apa ini Om?”

“Buka saja,”

Rerey membuka kotak hadiah berwarna biru itu. Matanya melebar, berbinar, senyumannya merekah saat melihat satu stel baju bola favoritnya menjadi hadiah kepulangannya.

“Makasih Om,”

“Iya, sama-sama. Rerey senang?”

Anak itu mengangguk.

“Nanti kalau Rerey sudah benar-benar sembuh, kita main bola lagi ya, pakai baju ini.”

“Kenapa Om ngajakin aku main bola lagi? Emangnya Om, ayahnya Rerey?”

Ahsan melirik Muti yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Dia lihat wanita itu mengangguk padanya.

“Kenapa Rerey bicara seperti itu? Rerey bilang pingin main bola lagi sama Om?” tanya Ahsan.

“Kata temen-temen aku di sekolah, yang namanya Ayah itu pasti suka ngajakin main bola.”

Muti duduk di ujung kasur. Membelai kepala anaknya sambil berkata, “Rey. Bunda tahu Rerey kan sering berdoa pingin ketemu Ayah?”

Rerey mengangguk.

“Kalau boleh Bunda jujur sekarang, Rerey bakalan marah enggak sama Bunda?”

“Jujur apa?”

“Bunda mau jujur sama Rerey, kalau sebenarnya ayahnya Rerey belum meninggal.”

Rerey menatap polos Muti beberapa detik. “Bunda bilang Ayah udah meninggal, kok Bunda bohong sama Rerey? Kan Bunda bilang sendiri ke Rerey kalau bohong itu dosa,”

“Bunda enggak bermaksud bohongin Rerey. Karena Bunda juga baru tahu, kalau ternyata selama ini Ayah sedang sakit dan di rawat di luar negeri.”

“Terus kalau Ayah belum meninggal, sekarang Ayah di mana?”

Muti mendekap anaknya. “Hari minggu nanti, Ayah ngajak kita ketemu. Ayah pingin main bola sama Rerey. Kamu mau, ketemu Ayah?”

Rerey mengangguk dengan mata berbinar. “Tapi Bunda enggak bohong kan?”

Muti melirik Ahsan. Laki-laki itu mengangguk sepakat.

“Bunda enggak bohong.” Muti menggeleng.

Anak itu bersorak senang. Kembali meloncat-loncat di atas kasur sambil berteriak riang, “Yee… Rerey mau ketemu Ayah…”

***

Huhuhuuuu... Rerey gemes banget siih... 😄

Hai Temarania...

Wah, sudah agak lama ya aku gak kembali bersama Ahsan. Maaf ya, tapi tenang Author udah agak panjangin ceritanya. Gimana puas ga??

Tunggu kelanjutan ceritanya ya, jangan lupa like, komennya Temarania... supaya Author semakin semangat lagi nulisnya.

Love 💚

After 1.800 DaysOù les histoires vivent. Découvrez maintenant