19. Fix It to Break It

131 13 2
                                    

So don't you give up,
We've got the time to take the world,
And make it better that it ever was.

So don't you give up,We've got the time to take the world,And make it better that it ever was

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

★★★

Jika ditanya, apakah setidaknya ada satu saja kenangan Ezra bersama kedua orang tuanya, maka jawabannya tidak ada.

Mama, sang wanita angkuh itu meninggalkannya tepat 6 bulan setelah kelahirannya, membiarkan Ezra berpindah tangan diurus seseorang yang bahkan bukan siapa-siapa. Meninggalkan sesosok bayi tanpa dosa, yang jelas masih terlalu belia untuk hidup tanpa figur orang tua. Bahkan tak ada kata selamat tinggal. Tak ada binar mata yang sepantasnya kala Ezra bisa mengucap kata Mama dan bisa merangkak untuk pertama kali dalam hidupnya. Semua itu, yang katanya membahagiakan bagi orang tua lain, tak berlaku pada orang tuanya.

Semua memori kelam itu memang terjadi saat Ezra masih kecil, bahkan seharusnya dia tak mengingatnya. Namun entah mengapa, Ezra seperti diberikan gambaran pilu atas masa kecilnya. Kala semua perjalanan hidupnya, dia jalani tanpa kedua sosok Mama dan Papanya. Semua memoar kelabu itu yang menjadikannya merasa kosong. Rasanya menjadi anak yang tidak diinginkan itu ternyata menyakitkan.

Dan apakah mereka pernah menyesal? Apa orang tuanya pernah ingin memperbaiki semua kesalahan masa lalu itu? Jawabannya, masih tidak dan mungkin tidak akan. Penyesalan itu tak pernah ada dalam kamus seorang Gamara Mahawira dan Raissa Sarasvati. Mereka bahkan tidak pernah peduli akan presensi bayi kedua mereka, anak yang bahkan tak pernah mereka nyatakan dalam alur hidup sempurnanya.

Tidak ada ruang sedikit pun bagi Ezra dalam lingkup semesta Mama dan Papanya.

Dibenci Mamanya, dan tidak dipedulikan Papanya, Ezra jadi menerka bisa seburuk apa nanti hidupnya di masa depan. Apakah kata bahagia itu bisa ia rasakan? Bahkan untuk berharap saja rasanya Ezra tidak pantas. Dia takut jatuh akan ekspektasinya sendiri, takut untuk kembali menangis atas semua harap yang takkan pernah menjadi nyata. Semua angannya itu fatarmogana, dan selamanya akan menjadi sebatas asa yang takkan terwujudkan.

Ezra juga tidak pernah mengetahui alasannya. Alasan Raissa sebegitu tidak menginginkannya, seakan 9 bulan pertama kala Ezra tumbuh di rahimnya, hanya terasa seperti neraka bagi wanita itu. Hingga saat dirinya dirasa bisa dilepas, Mama segera melakukannya tanpa pikir panjang. Membuangnya seakan Ezra bukan darah dagingnya sendiri, seakan bayi tak berdosa itu bukan seorang anak yang sepantasnya dia rawat hingga akhir hidupnya.

Terlampau kejam, karena Mama tidak pernah punya alasan mendasar mengenai hal itu. Tak ada yang pernah jelas, tak ada kata yang bisa menjadi jawab atas semua tanya yang Ezra suarakan.

Wanita itu ... hanya membencinya.

"Gama, anak itu, bisa nggak kita titipkan ke adik kamu?" Raissa menatap lamat wajah tegas milik suaminya, Gamara Mahawira, yang kini sibuk berkutat dengan laptopnya.

Waktu memang sudah semakin malam, namun dua insan manusia itu masih berada di luar kamarnya untuk membicarakan topik yang sama dari hari ke hari.

Gama memberi atensi kala pembicaraan ini mulai terasa menjengkelkan. "Gava? Kamu bercanda? Mau dituntut menelantarkan anak apa gimana? Tau sendiri bocah itu paling sering nge-debat aku," pria itu jelas menolak. Gama masih punya harga diri untuk dijunjung tinggi.

Eclipse Of The Moon [ON-GOING]Where stories live. Discover now