7. The Eyes That Lost His Shine

182 15 0
                                    

★★★

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

★★★

Hari ini kelas Azka terasa lebih ramai dari hari biasanya karena teman sekelasnya ada yang berulang tahun. Lelaki itu jadi sedikit lupa akan adiknya karena teralihkan oleh itu. Sampai saat bel pulang berbunyi, dia belum sempat memantau kondisi Ezra pada hari pertamanya bersekolah.

Bel pulang memang sudah berdering sejak tadi, tapi Azka masih nyaman berdiam diri di kelasnya. Netra cokelatnya kini beralih menatap susu kotak yang berada dalam bingkisan souvenir ulang tahun temannya lamat-lamat. Minuman itu mengingatkannya pada adiknya yang memang sangat menyukai susu.

"Ka? Nggak balik lo?"

Azka tersadar dari lamunan panjangnya. Lelaki 17 tahun itu menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Disana ada Rafa--teman sebangkunya yang sedang bersender pada pintu kelas dengan wajah bingungnya. "Udah bel daritadi juga, hobi banget ngelamun."

Azka terkekeh kecil mendengarnya, dari dulu dirinya memang hobi melamun saat memikirkan sesuatu. Kini remaja itu mengalihkan pandangannya ke arah jam tangannya. Berselang satu detik, kedua alis tebal itu bertaut saat mendapati layar jamnya gelap, menandakan dayanya habis. "Habis?" gumamnya samar, lalu laki-laki itu beralih mengecek ponselnya yang ternyata ikut mati juga. Sejak kapan?

Rafa yang melihat gerak-gerik aneh teman sekelasnya itu kembali buka suara. "Kenapa, Ka?" dia bertanya lagi, meski pertanyaan sebelumnya juga belum terjawab.

"Baterai jam sama hape gue abisnya barengan. Kok bisa, ya?" Azka mendecakkan bibirnya kesal, niatnya menghubungi Ezra sirna seketika. Seharian ini, Azka memang tidak terlalu sering membuka ponselnya sampai tidak menyadari hal ini. Sungguh, biasanya dia tak seceroboh ini sampai lupa mengisi daya kedua benda vital ini.

"Lah tumbenan lo. Yaudah hape gue aja, mau nelpon Eja, kan?" Rafa mendekat ke arah Azka lalu menyerahkan ponselnya, yang langsung diambil lelaki itu. Pemuda itu memang sudah cukup hafal dengan kebiasaan temannya yang satu ini.

"Makasi, Fa." dengan cekatan, jari-jari laki-laki itu mengetikkan nama adiknya yang nomornya memang sudah terdaftar di ponsel Rafa. Tepat saat menemukannya, Azka langsung menelpon adiknya.

Dering pertama, kedua, hingga dering terakhir tak ada jawaban. Azka menggelengkan kepalanya bingung, tak seperti biasanya adiknya tak bisa dihubungi. Biasanya di dering pertama, Ezra akan langsung menjawab telponnya. Anak itu biasanya akan selalu bersemangat jika Azka menelponnya. Jadi saat Ezra tak menjawab telponnya, perasaannya mulai tak enak.

Azka mengembalikan ponsel Rafa pada sang pemilik dengan cepat, lalu pria itu langsung berlari keluar kelasnya dengan terburu-buru. Rafa yang melihatnya hanya bisa mendelik heran, tapi tak terlalu terkejut karena setaunya Azka memang sangat menyayangi adiknya.

Di parkiran motor, Azka dengan cepat mengambil motornya dan mengendarainya dengan kecepatan penuh menuju rumahnya. Saat motornya terparkir asal di halaman rumah, pria itu segera turun dari motornya. Kedua manik mata cokelat itu membulat saat mendapati Bibi Arin berada di depan pintu dengan tas yang tersampir di bahu kanannya. Pemandangan ini sedikit terasa tak biasa.

Eclipse Of The Moon [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang