8. When The Weather Is Bad

161 15 1
                                    


★★★

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

★★★

Jika ditanya kapan tepatnya hubungannya dengan adiknya mulai merenggang, Azka tidak akan pernah bisa menjawabnya. Pada dasarnya, lelaki itu juga tidak terlalu memedulikan hal itu.

Azka hanya berpikir bahwa merenggangnya hubungan mereka merupakan tanda bahwa Ezra sudah mulai dewasa. Tanda bahwa adiknya mulai mandiri dan tidak membutuhkannya secara terus-menerus seperti sedia kala.

Tapi seiring berjalannya waktu, kerenggangan itu semakin tak bercelah. Azka terlambat menyadari bahwa hubungan keduanya benar-benar hancur sekarang.

"Hari ini ambil rapot? Bi Arin lagi sakit, biar—-"

"Nggak perlu. Gue bisa ambil sendiri." Ezra menyela ucapan Kakaknya cepat seraya beranjak dari kursi makan dengan roti yang masih berada di mulutnya. Hari ini dia memang mau berangkat lebih pagi karena tidak mau membuang waktu untuk mengharapkan Kakaknya akan menawarkan diri untuk mengantarkannya seperti apa yang selalu dia lakukan dulu.

Ezra memang sudah menyadari besarnya jarak yang terbentang diantara dirinya dan Azka. Tapi laki-laki itu memilih abai. Lagipula tak ada gunanya jika dia meminta Kakaknya kembali seperti sedia kala, yang telah berubah akan terus berubah. Ezra memilih sadar diri bahwa selama ini dia merupakan beban bagi laki-laki itu.

Kesal dengan Ezra yang seenaknya menyela ucapannya, Azka beralih menatap adiknya dingin. "Makannya duduk." titahnya tegas, sebelum kembali pada topik pembicaraan mereka sebelumnya. "Jam dua belas, kan?"

"Nggak usah." ulang Ezra lagi, kali ini dengan nada jengah. Anak yang kini baru berusia 14 tahun itu memang telah berubah sepenuhnya. Bahkan tak ada embel-embel "Kak Aza" lagi saat berbicara dengan Kakaknya itu.

Nyatanya, Ezra memang hanya memerlukan satu tahun untuk menggantikan 13 tahun kebersamaannya bersama Azka.

"Lo basket, kan?" tak mendapat jawaban dari lawan bicaranya, Ezra langsung mengetahui jawaban dari pertanyaannya. "Jangan janjiin hal yang nggak bisa lo tepatin." tambahnya lagi, baru setelahnya tubuh kecil itu menghilang dibalik pintu.

Azka hanya bisa menatap kepergian adiknya dengan perasaan hampa. Dia tidak pernah bisa mengerti dengan kondisi hubungan mereka saat ini. Pemuda itu bahkan tak mengetahui secara jelas apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Tidak bisa mengetahui separah apa kesalahannya sampai adiknya bisa berubah sejauh ini.

Yang jelas, tidak ada jalan kembali untuknya.

★★★

Ezra tidak pernah membenci Kakaknya. Bahkan sedikit pun saja tidak pernah terbesit perasaan itu di dalam hatinya. Anak itu selalu melihat Azka sebagai sosok sempurna yang selalu ada untuknya. Memang sejak awal, hanya Kakaknya yang memiliki peran besar dalam kelangsungan hidupnya. Jika tak ada Azka, Ezra tak tau dirinya akan bagaimana di dunia ini.

Eclipse Of The Moon [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang