2. Dead Creature

276 26 0
                                    

★★★

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

★★★

Azka tidak pernah meninggalkan adiknya sendirian.

Saat dia bisa berbicara pertama kali, saat dia bisa berjalan pertama kali, bahkan saat suapan pertamanya, Azkarsa selalu ada di sisi Ezra. Memperhatikan pertumbuhan anak itu dari hari ke hari. Sekaligus berperan utama dalam membesarkan adiknya yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya saat usianya baru menginjak 2 tahun.

Terlebih saat adiknya pertama kali masuk TK, Azkarsa yang saat itu sudah berada di tingkat Sekolah Dasar rela bolos hanya untuk mengantarkan Ezra yang mendadak marah. Katanya, anak itu tidak mau diantar oleh Bibi Arin. Jadi sebagai gantinya, Azka yang mengantarkan Ezra.

Masih membekas jelas dalam ingatannya, saat adiknya menanyakan hal yang memperjelas keadaan mereka yang sebenarnya. Ezra, mengerti hal yang belum seharusnya ia mengerti.

"Kak Aza, Eza nggak mau sama Bibi terus." suara dengan nada kesal itu terdengar nyaring dari mulut Ezra.

Melihat ekspresi kesal Ezra, Azka hanya menatap adiknya dengan gemas. "Kamu maunya sama siapa emang?"

Bocah 4 tahun itu sempat terlihat ragu, tapi bibir kecilnya tak urung bergerak. "Eza ... punya yang namanya orang tua nggak?" tanyanya dengan tatapan polos.

Saat itu Azka yang baru berusia delapan tahun tidak tau harus menjawab apa. Anak itu hanya menyeka keringat adiknya yang berkucuran karena anak itu baru saja bermain lari-larian, lalu kembali menarik Ezraska memasuki kelasnya.

Disana, saat Ezra bersama teman-temannya, Azka tiba-tiba merasa takut. Melihat adiknya yang tetap tersenyum meski dia tau perasaan adiknya mulai terasa tak nyaman, dia merasa menjadi Kakak yang gagal karena nyatanya adiknya masih merasa kesepian. "Kamu nggak perlu orang tua, Za. Kakak aja cukup."

Selalu ada dirinya dalam setiap kali hidup Ezra. Mereka selalu bersama, dan setiap harinya, Azka hanya hidup demi anak itu. Demi bisa mendengar kata Aza keluar dari bibir adiknya, demi bisa memiliki satu alasan lagi untuk tersenyum saat dunianya semakin tidak terarah.

Azkarsa hanya bertahan agar Ezra bertahan.

Dulu, mereka sehangat itu. Entah sejak kapan tepatnya mereka jadi sejauh ini.

Yang jelas, meski ada dalam setiap pertama kali hidup adiknya, Azkarsa tidak pernah siap untuk ada di kali pertama Ezra kecelakaan.

Azka tidak pernah pergi, bahkan pria itu merasa menyesal tepat sepersekian detik setelah Ezra turun dari mobilnya. Jadi pria itu memilih mengikuti adiknya yang menaiki motornya tanpa memperdulikan arah. Perasaannya tak karuan melihat Ezra bergerak tanpa tau diri, tapi dirinya terlalu takut untuk menghentikan adiknya.

Azka tau dia kelewatan. Sejak dulu semarah apapun dirinya, dia akan selalu menahan Ezra di sisinya, tak pernah membiarkan adiknya pergi sekacau apapun keadaan mereka.

Karena Ezra itu ceroboh, dulu saat Azka tidak ada di sisinya untuk menemaninya bermain sepeda 5 menit saja, anak itu sudah tersungkur di aspal. Menangisi luka di kakinya seakan itu adalah sebuah hal paling menyakitkan di dunia ini.

Ezra itu cengeng, luka sekecil apapun akan dia tangisi. Dan Azka selalu jadi korbannya, sosok yang berstatus sebagai penanggung jawab utama adiknya itu yang selalu siap siaga saat adiknya terluka.

Luka kecil itu saja sudah mampu membuatnya menangis keras, lalu bagaimana sekarang? Saat tubuhnya dipenuhi darah dan alat bantu kehidupan? Apa Ezra masih akan menangis?

"Lo bisa nangis, brengsek. Kenapa lo malah senyum? Kenapa lo cuman bisa tidur disitu? Nggak mau ngadu ke gue lagi?" suara serak itu mewakilkan semua rasa sesak yang menyiksa hati seorang Azkarsa. Air matanya seakan tak ada habisnya saat menatap adiknya yang tertidur dengan nyaman di dalam sana. Di sebuah ruangan mengerikan yang dipenuhi alat-alat untuk menunjang kehidupan adiknya.

Saat melihat adiknya mempercepat motornya ketika melewati lampu hijau yang tinggal beberapa detik lagi, Azka belum sempat bernapas dengan benar saat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak motor adiknya sampai tubuh yang dia lindungi mati-matian itu terlempar ke sisi jalan. Kejadian itu berlangsung begitu cepat dan jiwa Azkarsa seakan ikut mati detik itu juga.

Dulu, dia kira, saat kedua orang tuanya meninggalkannya bersama Ezra yang masih bayi akan menjadi hal paling menyakitkan dalam hidupnya. Tapi ternyata, saat melihat wajah damai adiknya yang dipenuhi darah--terlebih lagi wajah itu dihiasi senyuman, ternyata itu terasa jauh lebih menyakitkan. Melihat kondisi adiknya saat itu merupakan rasa sakit batin yang mengalahkan rasa sakit fisik paling menyakitkan yang bisa Azka terima.

Melihat Ezra yang kehilangan kendalinya saat itu, hanya emosi yang bisa dia tunjukkan. Meski pada kenyataannya Azka hanya merasa takut. Takut kehilangan adiknya yang merupakan satu-satunya alasannya hidup. Takut bahwa Ezra akan pergi bersamaan dengan jiwanya.

Bagaimana dia bisa hidup tanpa bocah itu? Bocah menyebalkan yang paling dirinya jaga di dunia ini.

"Lo boleh lahir duluan, Kak. Tapi akhirnya gue yang pergi duluan."

Dunianya usai saat Ezra menutup matanya. Dan Azkarsa tau bahwa saat Ezra pergi selamanya, dia juga akan melakukan hal yang sama nanti.

Jangan mati kalau lo mau gue susul, Za.

★★★

★★★

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Eclipse Of The Moon [ON-GOING]Where stories live. Discover now