xii. berhak bahagia

92 33 14
                                    

"Jun, kalau aku mati gimana?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Jun, kalau aku mati gimana?"

Pemuda bernama Juniar tersenyum getir seraya menggeleng, lalu tangannya mengusap pucuk kepala Ivana lembut. Sudah dua hari gadis itu berbicara soal kematian, setiap hari surainya kian rontok. Surai indah itu mulai menipis, lantaran hal itu Ivana mulai khawatir.

Gadis itu sebenarnya sudah berserah diri pada Tuhan, tetapi munafik apabila dia tidak ingin tinggal lebih lama, menikmati hari-hari bersama orang terkasih. Dan yang terkasih adalah Juniar, lelaki itu satu-satunya alasan mengapa ia ingin tetap bertahan hidup. Jangan tanyakan tentang kedua orang tua, sebab sepasang suami-istri itu pun sudah menyerah perihal biaya pengobatan sehingga kanker otak berhasil menggerogotinya sampai stadium 3.

"Bisa sembuh kok, jangan khawatir. Selama rajin kontrol," hibur Juniar.

Lantas Ivana menggelengkan kepalanya, menggigiti bibir bawahnya cemas. "Orang tuaku juga kewalahan, Jun. Biayanya gak sedikit," kata Ivana.

"Nanti aku sama Mama bantu," Juniar berujar meski dadanya terasa sesak tatkala Ivana lagi-lagi membahas perihal biaya pengobatan. "Jangan dipikirin, yang terpenting sekarang itu kesembuhan kamu," lanjutnya.

Ivana membisu, tidak tahu lagi ini sebuah keberkahan atau sebuah belenggu. Setelah memutuskan untuk rawat inap, biaya pengobatannya semakin membengkak. Jujur saja keberadaan Juniar sudah lebih dari cukup, tetapi lelaki itu dan Mamanya selalu membantu membayar kemoterapinya. Walau masih terdapat setitik keinginan untuk hidup, ada kalanya Ivana merasa tidak enak, sebab biaya pengobatan kanker otak bukanlah perkara yang murah. Kedua orang tuanya sih senang-senang saja mendapat bantuan terus-menerus, sementara mereka saja sebenarnya sudah menyerah pada pengobatan Ivana. Entah bagaimana cara Ivana untuk membayar uang Juniar dan Mamanya, meski mereka mengatakan ikhlas untuk membantu, pokoknya Ivana tetap tidak enak!

"Gak enak sama kamu, sama Tante juga," tutur Ivana tersenyum getir.

"Ngomong apa kamu?" Juniar mengerutkan dahi, tidak terima dengan penuturan Ivana. "Mama udah anggap kamu kayak anak perempuannya sendiri. Wajar, Mama dari dulu sebelum angkat rahim pengin punya anak perempuan tapi yang lahir aku," Kemudian lelaki itu terkekeh. Seperti menular, Ivana pun turut terkekeh geli.

Ia ingat betul kalau Mamanya Juniar pernah berkata padanya seperti ini, "Andai anak Mama itu perempuan cantik seperti kamu, Iv. Mama itu dari dulu pengin sekali punya anak perempuan, dulu itu sih rencananya mau Mama dandani seperti Tuan Putri, nanti kalau sudah beranjak dewasa bisa lihat Tuan Putrinya Mama bawa pacarnya ke rumah, mau lihat reaksi galak Papa."

Kala itu Ivana hanya tertawa sebagai respon. Sembari mengepang surai panjangnya, Mamanya Juniar sesekali mengelus pucuk kepalanya dengan teramat lembut. Buah jatuh memang gak jauh dari pohonnya, saat itu Ivana jadi paham kenapa Juniar suka sekali memainkan rambutnya.

"Mama nyesel punya aku karena rambutku gak bisa dikepang kayak Ivana?" Di kaki tangga, Juniar bersuara.

Maka wanita bersurai bob itu terkekeh geli tatkala anaknya itu sok cemburu, "Kamu tetap kesayangan Mama, tapi setelah Ivana."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Himpunan Rasa Where stories live. Discover now