v. sebait rasa

155 104 13
                                    

Sore ini seusai pertandingan basket antar sekolah, sosoknya membanting penat di atas sofa, memejamkan kedua mata perih

Ops! Esta imagem não segue as nossas directrizes de conteúdo. Para continuares a publicar, por favor, remova-a ou carrega uma imagem diferente.

Sore ini seusai pertandingan basket antar sekolah, sosoknya membanting penat di atas sofa, memejamkan kedua mata perih. Bait-bait asa kian meredup seiring sang puan melangkah, hanya tersisa rasa penat yang kontan menghantam jiwa dan raga. Entah sampai kapan ini terjadi, Glen memijit pelipisnya lelah.

Sementara di kaki tangga, terdapat Dion yang tengah berdiri sembari memainkan sepucuk surat. Sepasang netra legam itu menatap Glen tak kuasa. Pikirannya berkecamuk, tidak tahu lagi harus bagaimana ia memulai pembicaraan dengan sang kakak.

Hubungannya dengan Glen tidak begitu baik seperti hubungannya dengan Aidam. Tidak begitu baik dalam artian bahwa ia jarang bertegur sapa, sebab selalu terjadi perang dingin sehingga menciptakan situasi terasa canggung. Meski begitu, ia tidak pernah mencari perkara lain dengan Glen. Hal itu tentu berbeda dengan adiknya, Hans, remaja yang tahun ini menduduki bangku kelas 1 SMA tersebut kerap mencari perkara bahkan tidak jarang selalu berakhir dengan adu tonjok.

Setelah kepergian Aidam, mau tidak mau keduanya menjadi bergantung pada Glen. Dion pribadi pun bukan masalah, tetapi Hanslah yang menjadi titik masalahnya. Lantaran mendapat surat panggilan orang tua, Hans yang saban hari cari ribut tentu gengsi meminta bantuan pada Glen, akhirnya Dion pula yang harus turun tangan mewakili Hans untuk menghadapi Glen.

Dan Glen yang merasa sedang diperhatikan membuka kembali kelopak matanya sehingga menampilkan sepasang iris legam, tubuhnya kemudian bergerak menghampiri Dion yang menunduk.

"Kenapa?" Bariton itu terdengar lelah, Glen bertanya tatkala melihat gerak-gerik Dion yang tampak ragu-ragu.

Lelaki bernama Dion mendongakkan kepalanya, sejajar dengan Glen. Meski harus menelan saliva susah payah, pada akhirnya Dion tetap angkat bicara. "Mas, Hans dapet surat panggilan orang tua."

"Terus gue suruh ngapain?" tanya Glen ketus.

"Mama sama Papa masih di luar kota ..." Menjeda sejenak, Dion menelan salivanya kasar. "Mas Glen yang wakilin, ya?" pintanya.

Maka Glen menghela napas setelah mendengar permintaan tersebut, "Hadeh lo pada nih demennya nyusahin gue aja."

"Udah dibilangin gak usah bikin masalah, Bang Idam itu udah gak ada, kalau kayak gini kan apa-apa kudu gue! Ngotak dikit lah, gue ini juga masih sekolah!"

Dion hanya bisa terdiam seribu bahasa, sedangkan Glen tampak kesal bukan main. Walaupun ngomel terlebih dahulu, pada akhirnya Glen menulis surat izin dengan dalih keperluan keluarga, dan tetap datang sebagai walinya Hans.

Entahlah bagaimana Glen akan mengelabui guru-guru Hans tentang latar belakangnya yang masih menjadi seorang siswa kelas 3 SMA.

Tidak ada pilihan lain 'kan? Menjadi wali bagi kedua adiknya juga merupakan sebuah tanggung jawab. Mau tidak mau ia harus mengemban tanggung jawab tersebut sebagaimana yang tertua.

HIMPUNAN RASA

Lalu di sore yang sama, sekawanan burung mengepakkan sayapnya, kicaunya melintasi sang cakrawala. Di angkringan, terdapat Yasa dan Nota berceloteh ria bersama Rumi. Sesekali melirik Bian yang lagi-lagi tampak melankolis.

Himpunan Rasa Onde as histórias ganham vida. Descobre agora