Black Cat

222 29 5
                                    

"Kita putus aja," ucap Seokjin.

Perkataannya itu dia arahkan pada anak laki-laki di hadapan Seokjin saat ini, yang menyilangkan kaki dan tangannya, sementara punggungnya menyender pada tembok pagar gang yang menuju ke rumah Seokjin.

Saat ini, matahari mulai menyusut di ufuk barat, cahaya yang tersisa menaungi tubuh kami berdua. Cahaya orange kas petang hari.

"Kamu serius?" anak laki-laki yang sedari tadi memandang tanah dan menekan salah satu tumit sepatunya ke atas permukaan tanah yang diijaknya, mengalihkan pandangannya ke arah Seokjin, yang berada di sampingnya.

"Iya, mulai hari ini, kita putus aja. Dan jangan muncul lagi di depan gue atau sengaja nampakkan diri dimanapun gue berada," kata Seokjin lagi, dengan nada datar, tanpa ekspresi. Bahkan dengan sedikit rasa tak sabar.

"Baiklah," jawab anak laki-laki itu, dengan segera menaikkan tali tas gendongnya di atas punggungnya lalu berlalu,

Sesaat Seokjin melihatnya berjalan menjauh menuju matahari yang sudah tenggelam di garis katulistiwa, sebentar sekali Seokjin melihat punggung gelap anak laki-laki itu, sebelum akhirnya Seokjin berbalik dan setengah berlari masuk ke dalam rumah.

"Lebih mudah dari yang gue kira," batin Seokjin lega,

.

.

.

"Namanya bukan Seokjin kalau ngga bikin sensasi," terdengar suara cempreng tak jauh dari tempat Seokjin sekarang duduk, di kantin sekolah.

Seokjin mengerling ke arah suara itu, dan mendapati yang berbicara dengan suara tak nyaman itu adalah salah satu gadis di meja sebelah. Salah satu karna di sana gadis itu tidak sendirian, ada setengah lusin gadis lainnya juga duduk mengitari meja. Di meja belum ada makanan, yang artinya mereka memang baru datang ke tempat ini.

Seokjin tentu saja mengenal gadis itu dan juga kroni-kroninya yang selalu mengikutinya kemanapun dia pergi. Andai Seokjin punya pilihan, Seokjin pasti memilih masuk ke dunia yang tak harus mengenal nama gadis ini sama sekali. Namun sepertinya hidupnya tak seberuntung itu karna di usia Seokjin yang masih 16 tahun ini, Seokjin harus mengalami hal yang seperti ini, sudah merasa sangat muak hanya saat nama salah satu teman sekolahnya di sebut.

Ya, Mina nama gadis itu. Entah apa hubungan mereka berdua di masa lalu tapi sejak keduanya dipertemukan di sekolah ini, saat mereka pertama kali saling bertatapan, Seokjin tak tau kenapa, Seokjin sudah tau tak akan suka padanya. Caranya menatap, caranya berbicara, tertawa atau hal-hal yang dia tunjukan membuat Seokjin sebal. Dan sikapnya pada Seokjin kemudian juga menunjukan kalau dia juga tidak menyukai Seokjin.

Sekarang, hampir seluruh isi sekolah bahkan guru-guru mengetahui hal ini, tapi tak ada yang melakukan apapun untuk membuat dua gadis ini baikan atau berdamai, mereka membiarkan keduanya seperti ini saja. Mereka hanya tidak tahu saja, Seokjin dan Mina bukannya tidak saling menyukai dari awal, tapi memang sudah saling membenci!

Dan pertengkaran demi pertengkaran panjang dan melelahkan sudah mereka lewati selama setahun ini, tak ada dan tak akan pernah ada ujungnya.

Kalian tau, apa keahlian terbesar dari Mina bagi Seokjin? Dia pandai sekali mencari kelemahan dan kekurangan orang lain, di matanya tak ada orang yang lebih sempurna darinya. Mina akan sangat bahagia kalau sedang mencari titik-titik lemah orang, dan lebih bahagia lagi kalau Seokjin yang jadi objeknya.

Sejak saat itu Seokjin punya ambisi baru untuk hidupnya, ambisi yang sangat besar, yaitu membungkam mulut Mina selama-lamanya! Huh!

Tapi ada wilayah dimana mulut Mina terbungkam sendiri tanpa Seokjin harus melakukan apa-apa, yakni tentang keluarga Seokjin. Keluarga Seokjin sangat kaya, ayahnya pengusaha, ibuku punya butik yang sangat terkenal di kota ini dan satu-satunya kakak laki-lakinya adalah seorang dokter. Sempurna sekali bukan?

PURE LOVEWhere stories live. Discover now